Saat saya menulis artikel ini saat berita tentang penolakan Ahok menjadi Gubernur DKI oleh sebuah ormas tengah hangat. Lalu sikap ormas tersebut, meskipun saya belum bisa memetakan, mencerminkan sikap siapa, apakah warga jakarta atau golongan mana, menggelitik saya untuk ikut meragukan jika Ahok memang tepat jadi Gubernur DKI.
Saya mencoba menghayati mengapa Ahok tidak layak jadi gubernur dalam ranah NKRI. Tentu jika dikatakan Ahok tidak layak menjadi gubernur karena dia non muslim dan warga keturunan saya tidak percaya apakah alasan ini cukup masuk akal untuk NKRI.
Karena itu merupakan bentuk kemerosotan ketika agama atau suku dijadikan alasan untuk menghambat seseorang menjadi pemimpin dalam kerangka “Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang dalam UUD 45 ditegaskan bahwa semua orang memiliki persamaan hak di mata hukum. Dan saya tidak percaya masyarakat Indonesia yang sudah lebih berpendidikan daripada 20 tahun yang lalu akan menjadikan ini sebagai alasan yang masuk akal. Jika kita tidak belajar menghargai UUD 45 maka lebih baik Indonesia bubar dan setiap orang Indonesia menjalankan hukum rimba,
Saya coba mencari alasan yang masuk akal untuk katakan“tidak!” pada Ahok. Saya lalu melihat kepribadian Ahok, dan tindak tanduknya. Dan saya harus akui bahwa Ahok bukan pemimpin yang biasa, agak overacting dan kadang agak terlalu impresif. Sehingga sayapun menemukan beberapa hal yang menurut saya alasan masuk akal mengapa Ahok tidak layak jadi gubernur DKI. Setidaknya saya dan kebanyakan warga Jakarta tidak menyukai hal-hal berikut yang melekat pada kepribadian AHOK.
Pertama, karena Ahok suka menegakkan aturan. Ini hal ini saya termasuk orang yang gerah. Pasalnya karena kebijakan Ahok, kebebasan saya dirorong. Contohnya saja, saya tidak lagi bebas memarkir mobil sembarangan jalan di Jakarta, kalau tidak mobil saya akan dikunci oleh petugas. Saya terpaksa merubuhkan bangunan yang telah memberikan saya penghasilan cukup besar dari kontrakan, karena tidak berada di tahan yang semestinya.
Kedua, Ahok sangat benci dengan korupsi. Padahal mengapa harus dibenci. Malah seharusnya bersahabat dengan itu, karena bisa memberikan kekayaan yang berlipat ganda kalau dilakukan dengan baik. Tapi Ahok malah melibas siapa saja di jajarannya melakukan penyimpangan. Dasar! Rekanan tidak lagi bisa kok kali kong dengan menyediakan barang Kw 3 yang seharusnya Kw 1. Saudara saya yang bekerja di DKI tidak lagi bisa bermanuver, wajahnya kini semakin tua.
Ketiga, Ahok tidak penakut. Ini membuat saya lebih cemas lagi. Bagaimana tidak? Jika banyak pemimpin bisa dipelintir kebijakannya dengan ancam “mengirimkan massa “, atau mengirimkan sms gelap dsb. Tapi Ahok tidak bergeming. Sehingga ini membuat saya gerah karena berarti sulit memplintir kebijakannya saat tidak sesuai kepentingan saya . Ahok juga ia tidak gentar menghadapi tekanan politik yang sifatnya pragmatis.
Barangkali ini alasan yang lebih masuk akal untuk mengatakan “tidak untuk Ahok”. Setidaknya kehadirannya telah menganggu tidur dan kenyaman saya dan ribuan warga Jakarta yang saat ini tengah terlelap di atas sangkar emas. Kamipun berdoa semoga Ahok tidak menjadi Gubernur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H