Hasil perhitungan cepat dari sejumlah lembaga menunjukkan jika pasangan  Jokowi Ma'ruf meraih kemenangan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun berdasarkan hasil quick count yang sama kita bisa saksikan penurunan suara dan kekalahan pasangan tersebut di sejumlah provinsi. Menurut hemat saya ini perlu menjadi bahan evaluasi yang bisa jadi cerminan kebijakan pemerintah yang tidak efektif.Â
Lazimnya inkumben dengan berbagai program yang sudah dijalan seharusnya bisa memenangkan suara dalam angka yang signifikan. Seperti halnya Presiden SBY yang bisa meraih suara hingga 60,8 % pada pemilu 2009.  Menariknya, kantung-kantung kemenangan Presiden Jokowi Widodo pada tahun 2014 seperti  Sumatera Selatan,  Riau, Sulawesi  Selatan dan Sulawesi Tenggara saat ini berbalik memenangkan pasangan Prabowo.
Tentu banyak hal yang membuat pasangan  Jokowi Ma'ruf  gagal meraih  kemenangan di Provinsi tersebut. Namun tidak bisa kita pungkiri beberapa wilayah tersebut merupakan sentra perkebunan, sub sektor pertanian penghasil devisa terbesar untuk Indonesia saat ini yang juga berjasa menyediakan lapangan pekerjaan bagi puluhan juta rakyat Indonesia.  Sebut saja Riau yang identik dengan kelapa sawit. Sumatera Selatan dengan karetnya. Lalu Aceh dengan kopinya.  Sementara di Kalimantan, Kalimantan Selatan merupakan sentra karet, pasangan Jokowi Mah'ruf mengalami kekalahan di provinsi ini. Demikian juga di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan sentra kakao dan kelapa.
Jika Anda menyimak diskusi berbagai grup perkebunan di media sosial, para petani cenderung menyerang dan mengkritik pemerintah. Salah satu pemicunya adalah anjloknya harga sejumlah komoditas perkebunan. Harga kelapa, kelapa sawit, karet, lada dan  sejumlah komoditas lainnya mengalami penurunan. Tentu pemerintah bisa berdalih itu dampak pasar global.Â
Namun jatuhnya harga lokal sesungguhnya hanya nenjadi pemicu. Reaksi negatif masyarakat terhadap pemerintah jauh berakar dari dari persepsi bahwa kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi mengabaikan perkebunan. Bagaimana tidak? Pernah suatu ketika APBN Kementan untuk perkebunan hanya Rp. 500 Milyar se Indonesia untuk penanganan berbagai komoditas.  Pemerintah berarguman ingin fokus pada padi, jagung dan kedelai (pajale) dulu lalu mengurusi yang lain termasuk perkebunan. Statement ini berhembus jauh hingga ke masyarakat. Sehingga kemudian di kalangan planter muncul candaan bahwa Kementerian yang mengurusi pertanian telah berubah Kementerian Pajale.Â
Nah persepsi negatif di atas semakin diperkuat dengan kenyataan banyak Dinas-Dinas perkebunan yang dihilangkan atau dengan bahasa yang agak lunak dileburkan. Sehingga tidak perlu heran jika Provinsi pemilik perkebunan kelapa sawit terluas seperti Riau tidak memiliki Dinas Perkebunan yang berdiri sendiri. Â Minimnya anggaran yang masuk ke Dinas Perkebunan, yang memang dikondisikan demikian, membuat para penguasa daerah menilai jika sub sektor perkebunan tidak penting, meskipun nyata-nyatanya perkebunan menjadi fondasi ekonomi bagi masyarakatnya. Â Lalu tenaga penyuluh perkebunan juga sama minimnya dengan anggaran untuk sub sektor perkebunan. Â
Lalu untuk kelapa sawit, pasca diskusi yang alot secara internal, pemerintah sepakat mengalokasikan dana untuk mereplanting kelapa sawit dengan luasan signifikan sejak 2017 yakni 20 ribu ha, naik secara drastis hingga 185 ribu ha pada tahun 2018 dan puncaknya tahun ini dialokasikan dana untuk mereplanting hingga 200 ribu ha.  Namun lagi-lagi petani merasa pemerintah hanya memberikan harapan indah. Pasalnya mendapatkan dana ini tidak mudah. Terlalu banyak lembaga yang menangani proyek ini  dan prosesnya berbelit-belit.  Sehingga lagi-lagi, muncul anggapan dari kutipan ekspor CPO ini sesungguhnya lebih dinikmati  produsen biodiesel dari pada petani.Â
Perubahan Paradigma
Saya bisa pastikan pemerintahan Presiden Jokowi sangat perduli dengan perkebunan dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Mengingat kontribusi sub sektor ini terhadap perekonomi nasional. Hanya dalam implementasinya, kebijakan yang diambil membuat masyarakat menafsirkan sebaliknya.Â
Barangkali inilah saatnya mengevaluasi pola kebijakan di periode sebelumnya. Pengembangan dan pembinaan perkebunan harus berjalan secara berkesinambungan dan harus ada keadilan dalam pembinaan komoditas. Kebijakan yang hanya menjadikan penanganan perkebunan menunggu masalah pangan selesai adalah paradigm yang tidak tepat. Kementerian Pertanian harus menjadi Kementerian semua komoditas unggulan.
Lalu pertanyaannya bagaimana soal keterbatasan anggaran. Kan mustahil semua komoditas dapat ditangani dengan baik? Kembali lagi soal mindset. Menangani perkebunan berbeda dengan pangan. Â Perkebunan berorientasi pasar global yang harganya dapat saja selangit. Sementara komoditas pangan pemerintah harus berjibaku menjaga harga untuk tetap stabil ketika biaya produksi meningkat. Tanpa adanya subsidi pemerintah dan bantuan yang masif maka pengembangan tanaman pangan tidak menggairahkan.