Jadi ketika seorang pimpinan dari kalangan pengusaha mengatakan A, maka staf dalam hatinya akan menjawab "nggak sesuai aturan".
"Ayo lakukan ini secepat mungkin". Jawabnya dalam hati, "Tidak sesuai aturan"
"Segera kejar output". Jawabnya dalam batin yang tulus, "Nggak sesuai aturan".
Begitulah yang terjadi sehingga seorang mantan CEO yang ambisius tidak jarang hampir-hampir stroke. Lalu karena frustrasi iapun menerapkan sistem keras. "Tidak ada kinerja saya ganti". Lagi-lagi respon dari para birokrat lebih aneh lagi. Ketika ada yang diberhentikan dan saat akan dicarikan calon pejabat semuanya pada mungkir. "Jangan saya yah pak", Â bujuk seorang pengawai ketika diminta menjadi pejabat. Malah pendekatan dengan tekanan, gonta-ganti pejabat seringkali menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman dan membuat produktifitas malah makin terjun payung.
Ini jelas bikin pusing. Belum lagi ketika banyak instruksi Menteri atau Pejabat Tinggi nggak serta merta diindahkan pejabat daerah dengan dalih. "Emang siapa elo, wong Bupati kami dipilih rakyat dan ia lebih paham daerahnya daripada kamu", ungkap seorang kepala dinas dari hati yang paling dalam. Pasalnya dengan sistem otonomi banyak Bupati atau Gubernur yang mendadak jadi raja-raja kecil. Jadi seorang Menteri atau pejabat pusat tidak serta merta bisa mengatur daerah.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan seorang CEO ketika menjadi pejabat? Jelas ini bukan jawaban yang mudah dan mungkin saran yang saya ajukan bisa keliru atau bisa saja benar. Lalu kenapa Anda membuat tulisan ini? Mungkin Anda bertanya kepada saya.
Tapi saya ingin coba beropini jika diizinkan. Saya ingin mengatakan jika lembaga pemerintahaan memang dirancang untuk bekerja seperti bebek. Aturan yang mengikat terlalu banyak. Prosedur kerja kadang mencekik leher dan anehnya itu sengaja dibiarkan. SDMnya sudah diprogram selama bertahun-tahun untuk bekerja santai dan jago bergosip serta ahli memainkan politik kantor. Meskipun saat punya kepentingan para birokrat dapat memangkas produsen dan aturan lalu berbisik "Itu bukti saya cerdas".
Langkah awal yang harus dibangun seorang pemimpin adalah motivasi. Makepeople happy, bakar semangat mereka biar bekerja bagai kuda. Ini yang menjelaskan mengapa kedisplinan dan kinerja bisa diterapkan di kalangan militer. Figur kepemimpinan harus cukup kuat. Penekanan adalah loyalitas dan motivasi. Para prajurit sering disampaikan kata-kata penuh semangat tentang tanggung jawab membela negara dan ibu pertiwi. Kata-kata tersebut kadang dianggap basa basi dalam sambutan di perusahaan.
Tapi di kalangan birokrat kata-kata "muluk" tersebut kadang menjadi penting. Sentuh hatinya, karena dengan uang dan apapun tidak akan menjadi motivasi, karena mereka sudah terbiasa menikmati penghasilan yang aman selama bertahun-tahun. Tapi ketika bertatap muka berbicaralah dari  hati ke hati. Bahwa Anda mengerti hati mereka bahwa kehidupan sekarang sulit sehingga wajarlah jika bla bla bla.Â
Jadilah negosiator dan perayu yang handal. Kadang kita memahami semua orang punya kepentingan. Bahkan seorang karyawan yang paling berani mengatakan "kita harus tegakkan aturan" juga punya kepentingan. Seorang leader di pemerintahan tidak bisa mengatakan bahwa bupati yang masih suka cari-cari proyek itu hal nggak masuk akal.
Pegawai yang cari sampingan adalah hal bodoh. Terimalah itu sebagai sebuah kenyataan. Tapi buatlah daya tarik memanfaatkan kepentingan mereka, lalu dorong agar mereka bergerak sesuai keinginan Anda. Jadilah bak pemimpin organisasi radikal yang bisa menggerakkan orang militan tanpa gaji dan tunjangan kinerja. Apa yang mereka permainkan adalah "kebutuhan terdalam", atau dalam bahasa birokratnya "kepentingan".