Saya bersimpati dengan aksi ribuan Saudara saya melakukan domonstrasi secara damai di depan istana negara hingga pukul 18.00 WIB (4/11). Meskipun pada akhirnya saya menyayangkan entah bagaimana aksi tersebut berujung ricuh.
Namun sebuah demo besar yang disulut oleh seorang AHOK membuat saya tertarik merefleksinya fenomena tersebut dengan horison yang lebih luas. Pasalnya pernyataan AHOK soal kutipan ayat suci tersebut tidak hanya sekedar mendorong sebuah demonstrasi massa namun juga berbagai macam reaksi yang berberapa diantaranya berakhir dengan tulisan-tulisan “mengerikan” yang berseliweran di medsos. Dengan argumen “kami adalah pembela agama”.
Kejadian tersebut mengingatkan saya dengan rekan saya yang penuh amarah membuat tulisan yang sarkastik menghina umat agama lain melalui blognya setelah ia menerima sebuah brousur yang isinya menghina umat Kristen. Dia marah dengan alasan yang sama dengan para friends saya difacebook yang sibuk menyebarkan tulisan yang panas tentang penistaan agama, membela agama.
Saya teringat dengan kisah seorang wanita penzinah yang dibawa kehadapan Nabi Isa Al-Masih (Yesus Kristus) oleh sekelompok orang. Mereka bertanya apakah sudah seharusnya mereka merajam wanita tersebut hingga mati? Sang nabi menjawab lugas, jika ada dari kalian yang tidak pernah memiliki dosa silahkan melemparnya terlebih dahulu. Dan….tidak ada yang berani melakukannya dan massa tersebut membubarkan diri. Lalu sang nabi mendekati sang wanita lalu berkata “Jangan kamu berubat dosa lagi”, dan masalahpun selesai.
Banyak dari kita yang merasa marah saat agama atau keyakinan kita dilecehkan orang lain. Kitapun bereaksi seolah-olah kita sedang membela Tuhan dan menjadi pribadi yang berhak merajam seorang pendosa. Ini adalah bukti cinta kita kepadaNya sekaligus bukti sucinya diri kita. Hanya suatu kali saya membayangkan seperti apa kira-kira respon Tuhan saat menanggapi aksi kita.
“Apakah Engkau mengenal mereka yang tengah membela Engkau?”, tanya malaikat kepada Sang Pencipta.
“Tidak”.
“Mengapa?”, tanya malaikat terheran-heran.
“Karena Saya tidak mengenal mereka secara pribadi. Saya belum pernah bercakap-cakap intim dengan mereka dalam batin mereka. Apa yang mereka lakukan bukan atas dasar cintanya pada Saya, melainkan oleh karena rasa takut bahkan marah ketika identitas sebagai orang yang ‘beriman’ terusik meskipun mereka tidak mengenal Saya”
“Lalu bagaimana jika mereka akhirnya menyakiti sesama mereka karena perbedaan”
“ Apa hak manusia untuk menyakiti dan menghabisi apa yang tidak ia ciptakan. Apa hak mereka untuk menetapkan siapa pendosa dan siapa yang saleh. Sejak kapan manusia hendak menjadi Tuhan, bukankah itu bentuk penistaan?”