Dalam pekerjaan sehari-hari di kantor, tak jarang atasan saya itu menyuruh saya untuk mencari tahu sesuatu dengan bertanya pada seseorang. Saat menyuruh saya untuk bertanya, dia tak pernah bilang, ”Tolong tanyain ini sama si A.” Saat meminta saya untuk bertanya dia tak pernah menyuruh dengan ala kadarnya. Dia selalu menjelaskan apa yang harus ditanya, apa tujuannya, arahnya kemana, apa yang harus digali, dan yang terpenting coba kembangkan sendiri pertanyaannya dengan bahasa sendiri. Jangan bertanya dengan mencatut namanya, contoh: saya disuruh atasan saya, atau saya disuruh pak B untuk nanyain Mikha Tambayong bagaimana ya keadaannya saat ini?
Dalam bertanya dia selalu menekankan agar pertanyaan itu memang lahir dari saya dan bukan karena disuruh seseorang. Kaarena pada dasarnya, agar merasa aman kita selalu bertanya dengan membawa pribadi yang menyuruh kita untuk bertanya. Bisa jadi karena segan dengan orang yang akan kita tanya, takut, atau karena orang yang akan kita tanya itu lebih senior dari diri kita. Saya jadi teringat saat beberapa waktu lalu bimbingan dengan dosen pembimbing, saat itu ada seorang teman yang disuruh oleh dosen kami itu untuk menanyakan sesuatu pada narasumber yang jadi objek penelitiannya. Setelah mendengar jawaban teman saya itu dia pun mempertanyakan bagaimana cara teman saya itu bertanya pada narasumber.
Dosen saya itu sontak tertawa saat mendengar bahwa teman saya itu bertanya pada narasumber persis seperti yang dia perintahkan. Padahal yang disampaikan sang dosen adalah sebuah pertanyaan yang saat sampai dilapangan harus ditanyakan dengan bahasa yang berbeda. Contoh begini, dosen meminta kita untuk bertanya pada narasumber, ”Apakah perusahaan A yang di ujung jalan sana aktif membangun citra perusahaannya?” Saat ditanya begitu si pemilik usaha bilang kalau dia tak pernah melakukan usaha untuk membangun citra usahanya. Kita pun menelan jawaban itu mentah-mentah. Padahal kita tahu kalau perusahaan itu aktif memposting kegiatan sosialnya di instagram.
Inilah dua kata kunci yang atasan dan dosen saya tekankan dalam bertanya: jangan memakai kaca mata kuda. Seperti yang kita tahu, kacamata kuda dikenakan di samping kedua matanya bukan tepat dikenakan di depan matanya. Kacamata kuda juga bukan lensa tetapi lebih seperti penutup (biasanya terbuat dari bekas ban karet).
Penarik mengenakan kacamata untuk kudanya agar kuda tersebut mudah dikendalikan. Kuda yang mengenakan kacamata akan fokus ke depan karena kacamata yang dipergunakan membuatnya tidak bisa melihat ke samping. Jadi yang dimaksud jangan menggunakan kaca mata kuda saat bertanya adalah jangan bertanya ala copy paste, jangan sekadar memindahkan apa yang ada di mulut orang yang menyuruh kita untuk bertanya ke mulut kita. Jangan jadi kayak burung beo.
Sebab bisa jadi bahasa yang digunakan atasan atau siapapun yang menyuruh kita untuk bertanya tidak pas atau tidak dapat dipahami oleh orang yang akan kita tanya. Oleh sebab itu kita harus memahami apa yang akan kita tanyakan, sehingga saat pertanyaan kita mentok di satu sisi, kita bisa mengejarnya dari sisi lain.
Ibaratnya kita ingin ke kota dan bertanya, Apakah jalan dari sini macet dan di jawab tidak tahu, lalu kita bertanya apakah kalau jalan disana macet dan dijawab macet, maka kita bisa menyimpulkan kalau mengambil jalan dari sini adalah pilihan yang tepat. Saya jadi ingat tentang bagaimana cara Jeff Bezos si pendiri Amazon mengintervew calon karyawannya. Konon Jeff suka menanyakan hal yang aneh-aneh, misalnya, “Siapa nama tukang parkir di depan kantor Google?” Tentu ini adalah pertanyaan konyol, hah tukang parkir di depan kantor Google? Siapa yang peduli!
Tapi begitulah cara Jeff menggali isi otak calon karyawannya. Bukan jawaban benar yang dia cari melainkan jawaban yang kreatif. Begitulah, pada prinsipnya, bertanya itu soal menggali informasi, memperoleh informasi lebih, hingga menginvestigasi sesuatu. Kalau kita tak bisa meng-eksplore pertanyaan jangan harap kita akan memperoleh informasi yang di atas rata-rata. Sebab pada kenyataannya, ada banyak jenis manusia yang siap mementahkan pertanyaan dan menjatuhkan mental kita saat bertanya.
Ada yang defensive, cuek, dan menjawab dengan asal saja apa yang kita tanyakan. Oleh karena itu ternyata bertanya pun ada prinsip dan seninya. Tak boleh monoton dan datar-datar saja. Untuk mendapatkan satu jawaban bisa jadi kita harus menyiapkan sepuluh pertanyaan. Lalu bisa jadi jawaban yang kita terima mengharuskan kita untuk menciptakan sepuluh pertanyaan baru untuk kembali ditanyakan.
Percayalah, dengan menjadi penanya yang baik, spontanitas kita akan terasah. Bertanya adalah salah satu soft skill yang kita perlukan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi penanya yang membuat orang yang ditanya marah, kesal dan sakit hati itu mudah. Tapi jadi si penanya yang bisa “mendapatkan ikan tanpa membuat airnya keruh” atau jadi penanya yang baik, kreatif, dan bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan tanpa merusak hubungan dengan orang yang ditanya adalah ilmu tingkat dewa. Halah, gayamu Bor!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H