Beberapa waktu yang lalu saya dengan tenang mendengarkan perbincangan di antara kerabat saya.Topik yang di bicarakan adalah wanita, dunia kerja, dan bangku kuliah.Â
Semua diawali saat adik saya memutuskan untuk kuliah. Mamak (ibu) saya sendiri termasuk orang yang menyarankan agar adik saya tidak usah kuliah. Mamak saya menyarankan agar adik saya mengambil sekolah keterampilan saja. Seperti menjahit atau salon.Â
Hal ini cukup beralasan. Pertama dia melihat bahwa tak ada gunanya seorang wanita kuliah tinggi-tinggi. Dia menjelaskan, sebagai contoh, anak perempuan tulang (paman) saya yang kuliah sampai jenjang S1 begitu menikah langsung berhenti bekerja dan fokus mengurus rumah tangga.Â
Hal itu bukan satu dua, semua anak perempuan tulang saya yang wanita memang kuliah hingga sarjana, bahkan ada yang sekolah keperawatan, tapi begitu menikah meninggalkan pekerjaanya dan fokus mengurus rumah tangga.Â
Melihat fakta ini mamak saya berpikir apa gunanya mereka kuliah. Maksud mamak saya baik, kalau adik saya mengambil kursus atau kelas keterampilan maka kalaupun nanti menikah dan harus fokus mengurus rumah tangga, sebagai isteri dia dapat membantu suaminya mencari uang dari rumah.Â
Contohnya membuka jahitan atau membuka salon, semuanya ini tentu memungkinkan kalau seorang perempuan memiliki sebuah keterampilan praktis. Namun yang namanya bakat tentu tak dapat dipaksa, adik saya tak memiliki bakat menjahit atau bergelut di dunia persalonan. Bakatnya adalah bermusik, bernyanyi, dan mengajar.Â
Itu sebab dia pernah mengikuti audisi indonesian idol sebanyak dua kali namun gagal. Sekolah musik pun harus tertunda karena satu dan dua hal. Singkat kata dia pun kuliah saja.
Perbincangan berlanjut pada perkataan seorang saudara yang berkata-kata dalam bahasa batak, "baema di anggap ma palaku-laku diri."Â
Kalimat dalam tanda petik jika diterjemahkan memiliki arti kurang lebih begini, "ya biarlah dianggap aja agar diri menjadi laku." Lalu saudara saya itu menambahkan, "kalau sarjana dia nanti kan nggak mungkin lagi tukang ojek, sopir angkot atau tukang becak yang bakal jadi suaminya."Â
Sebelumnya saya minta maaf. bukan maksud saya merendahkan profesi tertentu. Tapi dalam konteks perbincangan ketika itu, maksudnya ialah baik.
Jadi maksud saudara saya itu, jika seorang perempuan memiliki pendidikan yang cukup tinggi atau katakanlah bergelar sarjana, tentu pasangan hidupnya pun minimal akan lebih tinggi atau katakanlah setara denganya (walaupun manusia pada dasarnya tak tahu siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya).