Belakangan ini saya seperti tidak bisa menulis apa-apa. Kayak tidak mendapatkan ide apapun untuk ditulis. Lalu saya coba mengingat-ingat bahwa ternyata selama ini topik yang saya tulis itu dosisnya hanya sekedar “intermezzo” saja. Artinya: saya menulis yang dekat-dekat dengan diri saya saja, apa yang saya alami dan saya amati.
Lalu pertanyaannya, kenapa saya mendadak merasa “mentok” dan seperti tak menangkap ide untuk menuliskan apapun? Entahlah. Sebenarnya sih saya sempat beberapa kali coba memaksakan diri menulis sesuatu, tapi baru satu halaman saya kayak sudah kehabisan kalimat buat improvisasi dan mengembangkan tulisan tersebut. Karena menggantung dan saya tidak lagi nulis cerita bersambung, maka tulisan yang tak jelas arahnya itu pun saya hapus. Saya binasakan.
Sulit sekali rasanya menemukan premis yang menarik untuk dikembangkan. Lalu mendadak saya jadi ingat bahwa penulis-penulis yang sudah mendunia dan melegenda sekalipun tak jarang mengalami yang namanya kebuntuan. Contohnya Ernest Hemingway, penulis novel “The Old Man and the Sea” yang diganjar Nobel Sastra (1954) atas karyanya itu pun bahkan dikabarkan mati bunuh diri karena depresi setelah merasa kehilangan kemampuan menulisnya.
Tentu menjadi sebuah kisah yang tragis saat penulis sekaliber Hemingway harus mati dengan cara demikian. Hemingway memulai karirnya sebagai seorang wartawan, ia juga pernah menjadi sopir ambulan pasukan sekutu di Italia dalam perang dunia pertama dan pulang dalam keadaan terluka sebagai pahlawan perang. Pada usia 23 tahun ia menikah untuk pertama kalinya lalu pergi keliling Eropa sebagai seorang wartawan lepas.
Sebagai seorang wartawan tak jarang Hemingway harus memasuki daerah konflik untuk mencari berita. Pengalamannya yang getir itulah yang konon mempengaruhi novel-novelnya yang sarat dengan “kekerasan.” Seperti perang, adu matador, perburuan di padang liar Afrika hingga kehidupan nelayan di laut yang didapatnya saat dia tinggal di Kuba.
Saya lupa siapa namanya, ada juga satu penulis ternama yang memutuskan pensiun setelah merasa cukup tua. Sebagai penulis dia merasa tak bisa melakukan riset hanya dari internet, dia merasa harus langsung mendatangi kawasan yang menjadi setting tulisannya. Untuk menuliskan kisahnya bukan data-data yang dia butuhkan, melainkan atmosfer yang menjadi setting ceritanya.Itu sebab dia merasa harus terjun langsung ke lapangan untuk melakukan riset.
Kisah Hemingway dan seorang penulis yang saya lupa namanya itu, membuktikan---lagi-lagi saya lupa siapa yang mengatakan kalimat ini---bahwa narasi yang kuat tidak lahir dari zona nyaman. Hemingway dan banyak penulis lain tentu sudah membuktikannya.
Sekarang saya jadi paham, kenapa sih stasiun berita itu sampai harus mengirim reporternya hanya untuk melaporkan suatu kejadian langsung dari TKP (Tempat Kejadian Perkara). Kadang saya mikir, ”knapa sih nggak baca di internet saja lalu melaporkannya dari studio?” Oh ternyata itu alasannya: agar menemukan narasi yang kuat dan tak biasa.
Jadi tersadarlah saya kenapa saya tak menemukan ide untuk ditulis, ternyata karena saya belakangan ini tak mengalami hal-hal menarik atau hal-hal yang tak biasa. Belakangan ini semua terasa datar-datar saja. Dalam konteks ini, saya tidak mencoba keluar dari zona nyaman. Saya hanya duduk tenang dalam kenyamanan sambil menunggu datang ilham yang nyatanya tak kunjung tiba.
Mendekatpun tidak. Oleh sebab itu benarlah bahwa narasi yang kuat itu hanya akan didapatkan oleh mereka yang berani menceburkan diri ke lapangan atau pada sebuah situasi.
Contoh saja, mana orang yang akan lebih yakin dan menarik saat menyampaikan suatu berita, mereka yang hanya baca dari media online atau yang langsung meliput dari TKP? Tentu yang terjun ke lapangan bukan? Penyebabnya tentu karena orang yang meninggalkan zona nyaman akan membaca peristiwa dengan kaca mata yang orisinil. Kalau kita membaca hanya dari media bukankah beritanya sudah dibumbui perspektif dan subjektivitas si penulis?