Baru-baru ini saya ditawari sebuah jabatan baru di perusahaan. Tentu jabatan yang lebih tinggi dengan gaji yang lebih besar pula. Sekalipun kalau dipikir-pikir tidak terlalu beda jauh besaran gajinya secara rupiah dari posisi saya saat ini, tapi posisi tersebut punya prospek yang lebih menjanjikan bagi saya di masa depan. Begitu pun secara gengsi, jabatan yang di tawarkan pada saya tersebut setidaknya lebih membuat saya percaya diri untuk menjawab saat seseorang bertanya pada saya, "Kamu kerja apa?"
Secara relasi, posisi baru tersebut pun dapat membuat saya berteman dengan pimpinan-pimpinan puncak perusahaan. Artinya saya bisa lebih dekat dengan orang-orang yang lebih berpengaruh di perusahaan. Ini tentu adalah sebuah peluang yang menarik untuk dicoba. Tapi ternyata, sekalipun tahu bahwa banyak hal baik yang akan didapatkan pada posisi baru tersebut, memutuskan untuk "loncat" dari posisi saya ini pada posisi yang ditawarkan tersebut tidaklah mudah. Bahkan saya sampai meminta waktu seminggu untuk mempertimbangkan penawaran sang manager kala dia memanggil saya ke ruangannya.
Walaupun ini adalah pengalaman pribadi, saya bukan bermaksud ingin menceritakan "ke-spektakuleran" atau ke "aku-an" diri saya dalam tulisan ini. Saya merasa biasa-biasa saja, dan akan selalu seperti itu. Buat saya ini adalah case yang menarik untuk diceritakan, karena menyangkut kehidupan kita yang masih kelas pekerja. Ini juga menyangkut pilihan hidup yang menentukan seperti apa kita di masa depan.
Lalu pertanyannya apakah yang membuat saya galau saat ditawari posisi tersebut, dan bagaimana pandangan saya soal kasus yang mungkin juga sering teman-teman sekalian alami, berikut beberapa pandangan saya:
- Sulitnya Meninggalkan Zona Nyaman
Ternyata sekalipun karir adalah suatu "tangga" untuk naik pada posisi yang lebih tinggi sebagai imbalan dari kerja keras, konsistensi dan loyalitas, pada saat tangga itu ditaruh di hadapan kita, ternyata tak mudah bagi kita (terutama saya pribadi) untuk segera menaikinya. Apakah yang jadi penyebabnya? Inilah yang saya temukan, yaitu: comfort zone!Saat saya ditawari posisi baru tersebut, saya curhat kepada seorang rekan senior mengenai tawaran dan seperti apakah jobdesk-nya.Kawan saya yang kebetulan sudah empat belas tahun itupun memberi tahu saya bahwa posisi tersebut cukup "horor" dalam arti lebih melelahkan, dan pasti membuat kepala lebih sakit. "Divisi kita saat ini sudah paling enak," ujarnya pada saya, "mending tolak aja," ucapnya lagi memberi saran.
Begitu mendapat saran dari kawan saya tersebut, keesokan harinya saya bertemu kembali dengan sang manager yang menanyakan, "Gimana?" Lalu saya pun menceritakan pembicaraan kawan saya mengenai posisi tersebut. Manager saya itu pun tak menampik, walaupun tak membenarkan kesan horor yang ada pada posisi tersebut. "Tentu ada harga yang harus dibayar," ujar sang manager kepada saya.
Pernyataan terakhir tersebut menyadarkan saya, bahwa tentu semakin tinggi posisi semakin besar pula tanggung jawab yang mengiringi di belakangnya.Tentu hal ini mengusik zona nyaman pada posisi yang saya tempati saat ini. Muncul kekhawatiran apakah saya harus terima atau tidak. Belum apa-apa sudah takut duluan. Tentu setiap orang tak mau, "Begitu-begitu saja," tapi realitanya perasaan tidak mudah diajak berkompromi untuk meninggalkan zona nyaman tersebut.
- Ikatan Emosi yang Sulit Membuat Move On
Satu lagi yang membuat saya harus berpikir keras untuk meninggalkan posisi saya saat ini.Itu adalah ikatan emosional yang telah terjalin antara saya dengan rekan sekerja yang sudah cukup lama bersama. Karena sudah klop, bahkan seorang rekan yang sudah tua, yang telah saya anggap bapak, membuat saya semakin sulit untuk memutuskan. Hal itu lah yang mungkin sering kita alami saat harus pindah dari satu tempat, ke tempat yang baru.Persoalan sentimentil yang terbangun malah "memporak-porandakan" batas-batas profesional serta ambisi untuk maju pada next level. Hal ini juga menjadi pertimbangan yang tak mudah. Khawatir mengenai persoalan adaptasi pada lingkungan dan teman baru juga terkadang membuat was-was. Padahal kalau dipikir-pikir, bagaimanapun suatu saat pasti di dalam pertemuan ada yang namanya perpisahan, apalagi sebatas rekan kerja, seakrab apapun itu.
Jangankan rekan sekerja, orang tua pun suatu hari akan kita "tinggalkan" saat kita harus menikah dan hidup dengan keluarga baru.
- Ragu dengan Diri Sendiri
Pertama kali sang manager menawari posisi tersebut, dengan percaya diri saya berkata, "Selama jobdesk-nya bisa dipelajari, saya siap, Pak," ucap saya dengan yakin waktu itu. Tapi saat saya dipanggil lagi dan proses perpindahan akan segera diproses, jantung saya pun mulai dag dig dug serr. "Apakah saya telah khilaf, ataukah saya telah salah memilih, ataukah saya kurang berdoa dalam memutuskan."Â Mulai timbul suara-suara yang meragukan diri saya sendiri.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!