Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Belajar Porsi Ideal Seorang Pemimpin dari Kasus CEO Uber, Travis Kalanick

14 Juni 2017   12:52 Diperbarui: 15 April 2019   15:00 3518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Kompas.com

Belakangan ini pemberitaan jagad teknologi sedang diramaikan dengan kontroversi yang dilakukan oleh CEO Uber Travis Kalanick. Di bawah kepemimpinan Travis Kalanick, dikabarkan perusahaan yang menggegerkan dunia transportasi itu tengah digoyang skandal internal menyangkut pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap karyawan, juga kultur yang terlalu agresif. 

Salah satu yang menjadi puncak masalahnya adalah email yang dikirim oleh Travis Kalanick kepada karyawannya, yang isinya kurang lebih membolehkan sesama karyawan untuk berhubungan seks secara bebas. Tak hanya itu, Uber pun dituduh mencuri teknologi mobil swa-kemudi dari Google. Belum lagi Maret lalu, dia bertengkar hebat dengan sopir Uber. Sang sopir protes mengapa Uber sering mengubah-ubah tarif. Tapi Travis Kalanick malah marah besar dan mengeluarkan sumpah serapah pada sang sopir. Akibat banyaknya permasalahan yang dialami Uber di bawah kepemimpinan Travis Kalanick, maka restrukturisasi manajemen pun dilakukan.

Imbasnya Travis Kalanick yang sudah sejak tahun 2009 tercatat sebagai pendiri dan pucuk pimpinan Uber pun harus "diasingkan" untuk sementara waktu. Dia diminta untuk mengambil cuti dan untuk sementara akan dirumahkan. Fungsi Kalanick akan diambil alih oleh komite manajemen selagi dia pergi. Ketika dia kembali nanti, peranan pendiri Uber itu bakal dibatasi. Sebagian tugasnya akan dialihkan ke Chief Operating Officer (COO) yang saat ini belum ada penjabatnya(sumber: Kompas.com).

Padahal Travis Kalanick adalah seorang yang sangat cerdas. Yaps kalau tidak cerdas mana mungkin dia bisa mendirikan perusahaan sefenomenal Uber hingga memiliki nilai USD 68 miliar. Tapi soal kepemimpinan dia sendiri mengakui, "Saya mengemban tanggung jawab besar atas apa yang telah terjadi pada kita, Kalau kita ingin Uber 2.0 yang baru, saya juga perlu membuat Travis 2.0 berubah jadi pemimpin yang dibutuhkan perusahaan ini dan layak kalian dapatkan."

Saya kutip dari Detik.com, dia pun mengakui kesalahannya saat video di mana dia memberi sumpah serapah pada sopir Uber terungkap ke publik, "Jelas video ini merefleksikan diriku dan kritik yang datang adalah pengingat aku harus berubah secara fundamental sebagai pemimpin dan jadi lebih dewasa. Ini adalah pertama kali aku mau mengakui perlu bantuan soal kepemimpinan dan aku berniat mendapatkannya."

Dari kasus ini kita bisa menyadari bahwa memang ternyata menjadi seorang pemimpin itu tidaklah mudah. Sebegitu sulitnya menjadi seorang pemimpin tapi toh di dunia ini tidak ada yang namanya sekolah kepemimpinan secara formal. Itu sebab pakar kepemimpinan yang telah mendunia dan menulis banyak buku laris, John C. Maxwell, dalam berbagai tulisan, pemikiran, gerakan dan seminar-seminarnya sangat menaruh perhatian khusus pada kepemimpinan (leadership).

Berkaca pada kasus Travis Kalanick, sebenarnya bukan dia saja pemimpin teknologi yang dikenal "brengsek". Dalam biografinya yang ditulis oleh Walter Isaacson, Steve Jobs juga dikenal tanpa ampun akan mengeluarkan sumpah serapah jika ada sesuatu yang tidak cocok dalam pandangannya. Demikian juga Jeff Bezos si pendiri Amazon, mereka adalah beberapa bos teknologi yang dikenal berwatak keras demi membesarkan perusahaannya. Namun sialnya Steve Jobs dan Jeff Bezos melakukannya di ruang meeting sedangkan mungkin Travis Kalanick melakukannya di ranah eksternal sehingga hal itu menjadi sorotan yang tak pantas di mata publik.

Mungkin memang harus begitulah memimpin perusahaan teknologi, kalau terlalu lembut mungkin perusahaan tersebut bisa-bisa tak berdiri karena terlalu banyak pandangan skeptis yang mempertanyakannya. Tentu saya bukan mau ngajarin cara memimpin, saya juga cuman kuli kok. Ini share pandangan saja, bahwa ternyata memang jadi pemimpin itu harus ada seninya.

Dalam dunia kerja kepemimpinan atau sosok pemimpin memanglah sosok dan topik yang krusial. Atasan saya pernah bilang ke saya begini,"Pemimpin itu harus dekat dengan bawahan, tapi tetap harus ada jarak." Bukankah ini adalah kalimat yang tidak mudah untuk dicerna? Butuh seni, butuh jam terbang, butuh praktek, dan butuh latihan untuk mempraktikkannya.

Tentu maksudnya pemimpin harus dekat bawahan adalah bukan dekat secara posisi tempat duduknya, melainkan atasan adalah sosok yang mem-bapak-i bawahannya, dan bawahan merasa atasan adalah sosok yang memang layak dihormati. Sebab banyak loh kejadian di mana seorang bawahan bersikap hormat di depan atasannya, tapi di belakang malah mencaci maki atasannya itu.

Namun ada juga bawahan yang baik di depan ataupun di belakang tetap menaruh hormat pada atasannya. Nah di sinilah seni kepemimpinan itu diterapkan dengan baik. Contohnya saja dalam dunia kerja sehari-hari, atasan yang baik tentu akan memanggil seorang bawahannya yang memang akan dia tegur ke dalam sebuah ruangan, sehingga mereka bisa bicara empat mata. Sebab ini bukan Amerika, jadi dalam konteks perusahaan, untuk tetap menjaga harga diri si bawahan si atasn tentu tak akan mempermalukannya di depan umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun