Setiap orang di tempatnya bekerja pasti mempunyai atasan. Bisa dibilang beliau-beliau yang menjadi atasan kita itulah big bos yang menjadi perpanjangan tangan perusahaan untuk.....nah tergantung bagaimana kita dan atasan kita memaknai jabatan masing-masing. Apakah kita akan mengartikan bawahan hanya sebagai bawahan belaka dan atasan hanya sebagai atasan belaka.
Apakah kita memilih terjebak hubungan profesional yang dangkal atau kita berusaha membuat sebuah hubungan profesional jadi lebih bermakna itu tergantung kedua belah pihak, walaupun pada dasarnya kuncinya ada pada seorang atasan.
Saya nulis ini bukan karena saya seorang atasan yang punya anak buah ya. Tapi dari beberapa pengalaman saya sebagai bawahan, saya pernah bertemu atasan atasan yang memang luar biasa.
Mereka tak hanya ingin menjadi seorang atasan dalam arti sempit. Bahkan salah seorang atasan saya pernah bilang begini, ”Saya tak mau hanya sekadar menjadi atasan kalian disini, saya juga harus bisa ‘membapai’ kalian semua”. Artinya atasan saya tersebut berusaha mengambil posisi yang lebih jauh dari jabatan yang disandangnya: yaitu berusaha menjadi bapak untuk kami bawahannya. Jika begitu, sudah barang tentu dia akan memperlakukan kami sebagai anak.
Bukan berarti dengan berusaha menjadi seorang bapak sisi profesionalitasnya jadi hilang. Yang ada adalah sekalipun atasan dan bawahan itu adalah hubungan profesional, dorongan untuk “membapai” oleh atasan ini membuat si bawahan merasa diperlakukan secara personal. Jadi terasa sekali kalaupun si atasan adil pada semua bawahannya, tapi cara dia memperlakukan bawahannya itu tidak dipukul rata.
Semua punya pendekatan yang berbeda, inilah yang membuat bawahan merasa diperlakukan secara personal, hal ini juga yang membuat setiap bawahan merasa istimewa.
Tak ada atasan yang sempurna, sama halnya tak ada bawahan yang sempurna --asyik. Tapi dalam hubungannya, dimana seorang atasan berusaha menjadi bapak untuk kita, di dalam ketidak sempurnaan masing-masing itu pasti tetap ada perkembangan pribadi ke arah yang lebih baik.
Saya sendiri sering mendengar bahwa ada saja orang yang mengkritik atasannya, karena tak tahu cara kerja lapangan misalnya. Dia memang paham pola kerjanya, tapi untuk melaksanakannya dia tidak bisa. Contohnya misalnya begini, kita ini seorang programmer terus atasan kita yang adalah manajer IT ternyata bukanlah seorang programmer, ternyata dia adalah seorang sarjana hukum, jadi dia tak bisa coding, dia tak tahu bahasa pemrogramman.
Apakah itu salah? Tentu salah kalau dibalik ketidak tahuannya atasan kita itu malah merecoki kerjaan kita. Memang akan lebih baik kalau atasan kita juga adalah ahli dibidang yang kita kerjakan. Tapi kalaupun tidak, ada sisi lain dari seorang atasan yang bisa menutupi kekurangannya itu, dan saya pikir ini tak kalah pentingnya dari skill bisa mengerjakan.
Ibaratnya pelatih bola, coba suruh pelatih bola itu main bola pasti mereka belum tentu lebih jago dari anak didiknya, boro-boro, nendang bola saja mungkin tidak bisa. Tapi inilah sisi atasan yang “membapai” yang sangat berharga itu : mereka bisa melihat potensi di dalam diri kita. Mereka bisa melihat potensi yang diri kita sendiri tidak bisa lihat. Mereka memiliki keyakinan terhadap kita di saat orang lain meremehkan kita.
Itu sebab di dunia ini ada orang yang dibayar hanya untuk berkeliling-keliling, menonton pertandingan untuk mencari anak muda yang punya potensi bagus. Demikian juga seorang atasan yang memiliki sifat “kebapakan” yang tinggi. Sekalipun mungkin dia tak tahu cara coding, tapi dia bisa melihat potensi diri kita sebagai seorang programmer masa depan yang handal lalu dia merekrut kita.