Ada pengalaman menarik hari ini saat saya dan atasan sedang ngobrolin sesuatu. Sesuatu itu memiliki arti satu hal yang akan kami terima. Tentu sesuatu ini muncul karena ada seseorang yang menjanjikannya. Singkat cerita, hari yang dinanti pun tiba, dan kami menerima sesuatu yang dijanjikan tersebut. Sambil menerimanya tentu kami mengucap syukur.
Emang harus begitu kan ya? Sesuatu ini bukanlah hal yang seharusnya kami terima, jadi bisa dibilang ini adalah anugerah yang dibungkus berkat karena memang tak seharusnya kami menerimanya. Sesuatu yang dijanjikan pada kami ini bisa dibilang sudah terekam dalam pikiran kami, dan sudah barang tentu menciptakan harapan, bentuk serta rupa yang terbayang di pikiran kami. Memang sih sesuatu itu adalah pemberian yang sebenarnya tak perlu diberikan, tapi karena sudah dijanjikan, tentu sebagai manusia kami jadi berharap.
Nah, ternyata apa yang kami terima tak seperti yang dijanjikan, melainkan di bawah harapan kami yang muncul dari janji itu. Itu sebab saat membicarakannya, saya dan atasan bersepakat bahwa kami harus bisa menarik pelajaran dari kejadian tersebut.
Atasan saya di awal pembicaraan langsung bilang, ”Itulah sebabnya kita tak boleh menaruh harap pada ekspektasi.” Tentu kami bersyukur untuk sesuatu yang kami terima, tapi kami ingin mengubah respons yang kalau dibiarkan begitu saja bisa menjadi rasa kecewa. Saya bukan ingin membicarakan orang, tapi lebih ke sesuatu yang bersifat “ilahi”.
Saat seseorang membangun harapan di hati orang lain sudah barang tentu si orang tersebut jadi berharap. Saat yang terjadi tak seperti yang diharapkan, tentu respons manusiawi kita adalah kecewa, terlepas dari sedikit banyaknya.
Tapi bersyukur, saat kita selalu berusaha berpikir positif dan menerima dengan lapang dada apa yang telah disediakan kehidupan, tak ada lagi istilah ngedumel dalam hidup kita. Itu sebab apa pun yang dijanjikan seseorang kepada kita, janganlah menaruh harap pada “ekspektasi” bahwa orang tersebut akan menepati janjinya seratus persen.
Sebuah janji harus ditepati adalah prinsip, tak selamanya itu yang akan terjadi. Sama halnya dengan orang yang menaruh harapannya pada “kode”. Misalnya nih, kamu menyukai seorang gadis, lalu saat si gadis itu tersenyum sama kamu, langsung kamu anggap kalau dia itu suka sama kamu.
Parahnya lagi, kamu anggap dia adalah jodoh kamu. Kamu mulai menaruh harap pada banyaknya kesamaan yang kalian miliki. Percayalah, kamu bisa sangat kecewa saat yang kamu yakini ternyata salah.
Itu sebab, kita harus melemparkan harapan kita ke langit, taruh itu di bawah keputusan Tuhan. Saat ada yang menjanjikan sesuatu pada kita, biarlah “berharap” menjadi respons natural kemanusiaan kita, tapi kita harus tetap pegang kontrol dan memasrahkan semuanya sama Yang di Atas.
Sehingga saat yang datang lebih kecil dari yang diharapkan, kita bisa tetap bergembira. Tak mudah memang, karena semua perlu yang namanya latihan. Tak ada salahnya menuangkan sifat pasrah ini ke setiap sendi kehidupan kita.
Kayak orang yang sudah ketabrak mobil tapi masih bilang, ”Untung yang patah cuman kakiku, bukan hatiku.” Yah saya melihat apa yang saya bilang ini bukan usaha untuk memberi nasihat, tapi lebih kepada membangun konsep diri dalam memandang hidup.
Karena Paulo Coelho bilang, usia kita bukan dihitung berdasarkan angka, tapi berdasarkan kebijaksanaan yang kita peroleh.
Oleh karena itu, sebaiknya jangan menaruh harapan pada ekspektasi yang timbul dari sebuah janji. Kita boleh menerima banyak janji, tapi harapan tetaplah harus ditaruh di bawah otoritas Tuhan.
Bukankah begitu guys? Menaruh harapan pada sosok yang tepat akan membuat kita cerdas secara emosional dan spiritual, dan orang model begini tak akan pernah kecewa. Kalaupun kecewa, dia tak akan menyimpannya dalam jiwa. Dia tahu bahwa janji manusia itu tidak sempurna. Halahhhhhhhhh....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H