Beruntunglah orang yang ditemukan oleh atasan yang memiliki naluri pelatih, yang bisa melihat apa yang diri kita sendiri tidak lihat. Atasan model begini akan melihat kita dengan keyakinan: bahwa kita memiliki sesuatu yang lebih dari yang terlihat mata. Tapi kuncinya ada pada diri kita, apakah kita mau mengambil sikap seorang anak atau tidak.
Tapi jangan dikira prosesnya bakal enak. Mentang-mentang atasan kita itu mengambil sikap seorang bapak, lalu kita kerja jadi nyaman-nyaman saja. Justru rasanya kayak orang jatuh cinta, roh kita itu kayak dipaksa untuk keluar dari diri kita lalu memandang diri kita sendiri dengan lebih kritis. Pas jatuh cinta kan begitu ya, apa yang tadinya tidak penting menjadi penting. Yang tadinya cuek sama gaya rambut mendadak gaya rambutnya jadi keren.
Apa yang tadinya dirasa sudah cukup menjadi kurang. Yang tadinya dandan apa adanya, sekarang malah detail banget kalau ngaca, dari atas sampai bawah semua dikombinasikan biar terlihat perfeksionis. Tapi kalau jatuh cinta mungkin perubahan cara pandang kita lahir dari perasaan kita sama si dia, tapi kalau di dunia kerja lahir dari atasan yang bersikap sebagai seorang bapak sekaligus pelatih sama kita.
Awalnya pasti kita merasa tidak nyaman. Kita merasa terlalu banyak dikomentari, seperti seluruh gerak gerik kita itu punya target tersendiri. Kayak ada kebebasan yang hilang. Kita menjadi tidak nyaman dengan keadaan. Tapi percayalah, lama-kelamaan pasti diri kita akan terbiasa dengan semuanya saat potensi yang memang sedang diasah oleh atasan kita itu perlahan-lahan muncul kepermukaan.
Butuh kesabaran yang tidak sebentar. Maklum saja kalau kita banyak dikritik dan dikasih masukan, sebab untuk mempertajam potensi kita, standar kita dalam segala sesuatu memang harus dinaikkan dulu. Dan memang sudah manusiawi saat standar dan pola pikir kita yang lama di utak atik oleh orang lain, itu menyebalkan.
Tapi ya kita bisa apa, kita hanya bisa pasrah. Sepasrah teman saya yang bikin status di facebook begini: kalau Tuhan bilang kamu itu jodohku, pacarmu bisa apa --hahaha. Kita hanya harus percaya sama atasan yang menjadi pelatih kita itu. Kayak adegan dalam film Facing The Giants, waktu itu sebuah team football yang dilatih oleh seorang coach bernama Grant Taylor sedang pesimis, bahkan anak asuhnya (kapten tim) sudah memastikan diri akan kalah sebelum bertanding.
Lalu, saat akan latihan dilapangan Grant Taylor memanggil sang kapten untuk latihan mengangkat tubuh temannya menyeberangi lapangan. Pelatih Taylor meminta sang kapten untuk melakukan yang terbaik. Setelah itu mata sang kapten ditutup agar dia tak tahu sudah menyeberang seberapa jauh.
Sambil merangkak membawa tubuh temannya sang kapten sudah ingin menyerah. Tapi pelatih Taylor terus berteriak memberi semangat, ”Don’t quit! Keep going! Keep Going! Dont quit! Do your best! Give everything you got! Begitulah terus sang pelatih berteriak sekalipun sang kapten sudah ingin menyerah. ”Tanganku seperti akan terbakar,” teriak sang kapten, ”Maka terbakarlah!” Jawab pelatih Taylor. Hasilnya pun mengejutkan sang kapten bahkan mampu melewati target yang ditentukan, seisi lapangan pun terperangah.
Sang kapten mampu menggotong tubuh temannya sampai ke ujung lapangan. Ke ujung lapangan! Lalu kenapa mata sang kapten harus ditutup? Seperti yang dikatakan pelatih Taylor: agar dia tak melihat batas yang membatasinya.
Begitu jugalah atasan yang memliki naluri pelatih akan membentuk kita, tidak enak tapi kita nanti bisa lihat hasilnya.
Purwakarta, 31/03/2017