Mohon tunggu...
Tohirin Hasan
Tohirin Hasan Mohon Tunggu... -

Pernah belajar mengeja kehidupan di Good Life Academy.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengembalikan Martabat Mulut

10 November 2013   07:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa pekan terakhir ruang publik kita dipenuhi pernyataan-pernyataan yang kadang kala menggelikan. Satu sama saling hujat, saling sindir, saling tuduh, bahkan saling serang. Lebih menggelikan lagi, yang melontarkan pernyataan-pernyataan tersebut justru orang-orang yang semestinya menebar keteladanan dalam tutur dan laku. Mereka kedodoran dalam menyampaikan pernyataan, jauh dari sikap seorang ksatria yang senantiasa mengedepankan kebenaran dan kesantunan.

Jika direnungpikirkan, semua lubang yang ada pada tubuh manusia mengeluarkan kotoran. Meski namanya bisa bermacam-macam (tergantung dari mana ia keluar?), namun hakikatnya ia tetap sebuah kotoran. Apapun yang disebut kotoran tentu orang jijik untuk melihat, mendengar, apalagi merasakan. Hanya satu lubang yang berpeluang untuk tidak semata-mata mengeluarkan kotoran. Ia bisa mengeluarkan emas, bahkan mutiara.

Benar, hanya mulut yang mampu mengeluarkan emas kebajikan dan mutiara kebijakan. Melalui mulut inisiasi perubahan dapat dimulai. Lewat mulut kesejahteraan bisa didengungkan dan diraih. Hanya mulut yang mampu mendendangkan lagu keselarasan. Hanya mulut juga yang terbukti mampu menyatukan segala macam perbedaan dalam satu pekik kemerdekaan!

Gara-gara mulut lahir ilmu yang usianya setua peradaban manusia, ilmu retorika. Retorika merupakan harmonisasi antara pikiran dan kesanggupan mengungkapkan melalui medium mulut. Retorika dapat disebut sebagai seni melahirkan suara-suara kebenaran dengan cara-cara yang benar untuk mendorong tegaknya tiang pancang kebenaran.

Kiprah mulut dalam bungkus ilmu retorika telah berjalan dalam liuk waktu yang panjang. Sejarah mencatat, sejak zamanYunani kuno, Romawi kuno, abad pertengahan, zaman renaisans, hingga zaman modern retorika selalu menjadi perbincangan yang tak kunjung selesai.

Sebuah pepatah Cina mengatakan, “orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak, tidak selalu berarti orang yang pandai bicara.” Pesan yang dapat ditangkap dari pepatah tersebut adalah betapa pentingnya berbicara secara efektif dan efisien. Pembicaraan yang keluar dari mulut layaknya anak panah yang keluar dari busurnya. Ia bisa tepat sasaran menusuk batin menjadi kabar yang menggembirakan. Ia bisa juga salah arah menjadi berita buruk yang mematikan bagi pendengarnya.

Simak pula pepatah tua yang satu ini, “berbicaralah, supaya saya dapat melihat dan mengenal anda.” Di pelataran tanah Jawa dikenal ungkapan serupa, “ajining diri saka lati, ajining raga saka busana.” Ini berarti bahwa harga diri seseorang sangat ditentukan dari cara bagaimana seseorang ketika berbicara.

Tentu masih banyak lagi petatah-petitih klasik yang membicarakan tentang mulut dan yang keluar darinya. Mulut memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh lubang lain pada tubuh. Jika mulut tak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka ia telah turun derajat sekadar menjadi lubang pada bagian tubuh. Tak ada beda dengan lubang lain yang hanya mengeluarkan kotoran.

Jika demikian, suara yang keluar dari mulut sebatas suara kotoran yang mencemari kehidupan. Dunia yang penuh sesak menjadi semakin kelam dengan perkataan-perkataan sampah. Apa saja yang keluar dari mulut akhirnya membawa bau busuk, bahkan tidak jarang menjadi petaka berupa anyir darah yang menyala-nyala.

Ketika mulut mengalami disfungsi akut, ia tak lagi memiliki martabat. Perkataan yang keluar darinya tidak lagi membuat ketenangan, sebatas ocehan yang mencipta kegaduhan. Bukan perkataan yang melahirkan ketentraman, tapi ajakan yang menerbitkan kekacauan. Bukan perkataan yang memicu kedamaian, tapi umpatan yang memacu adrenalin kerusuhan. Bukan perkataan yang memberi penyelesaian, tapi caci-maki yang menambah keruh persoalan.

Lebih parah lagi, bukan perkataan tentang kebenaran, tapi bualan yang menyesatkan. Bukan perkataan yang menyejukkan, tapi gosip murahan yang memakan bangkai kawan. Bukan perkataan yang mudah dipahami, tapi akrobat kata-kata yang tak bermakna. Bukan perkataan yang indah mempesona, tapi gunjingan yang melukai perasaan. Bukan perkataan yang menginspirasi peradaban, tapi percakapan yang menginjak-injak rasa kemanusiaan.

Akhirul kalam, hanya mulut yang mampu menyuarakan kebenaran. Sebab itu, jangan biarkan mulut menyuarakan kebatilan dalam aneka rupa dan nama. Kita perlu bergandeng tangan untuk membungkam mulut-mulut liar yang menyuarakan kedunguan. Kita perlu segera mengembalikan martabat mulut pada fungsi sejatinya, menyuarakan kebenaran!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun