Ini terjadi nyaris setahun lalu. Tiba di terminal 1 di bandara Changi Singapura, setelah mengemasi bagasi, aku menuju tengah kota menggunakan Skytrain. Segerombolan lelaki muda necis bertampang kinclong menghampiriku dengan langkah percaya diri, dan salah seorang dari mereka bertanya dalam bahasa Indonesia aroma Jakarta: “Apakah ini menuju pusat kota? Kenapa tak menggunakan MRT?” Aku menjawab: “Stasiun MRT ada di terminal berikutnya, kita bisa naik dari sana.” Sekadar info wahai sahabat dan kerabat, MRT (Mass Rapid Transit) adalah kereta cepat bawah tanah yang merupakan transportasi paling efektif di Singapura. Berkekuatan entah berapa ribu tenaga kuda dan entah berapa juta tenaga pak becak. Namun pertanyaanku adalah: bagaimana mereka bisa yakin kalau aku adalah orang Indonesia dan berbahasa Indonesia? Apakah dari tampangku yang melas atau dari mataku yang penuh kerusuhan? Dan lalu kami akhirnya menaiki MRT bersama-sama menuju pusat kota dari terminal 2. Dari perbincangan berikutnya, baru aku tahu bahwa mereka hendak menonton balapan F1 yang terkenal itu. Grandprix Formula 1. Night Race Singapore. Jadi mereka ini adalah para pemuja Ferrari, Mercedes dan lain-lainnya itu. Hamilton, Messa, Button adalah orang-orang suci penerima wahyu. Kepala-kepala mereka, lihatlah helm-helm itu, bercahaya. Amin! Aku tak pernah suka balapan. Aku bahkan tak tahu kalau saat itu tengah berlangsung Night Race F1 di Singapura. Tapi aku jadi tahu, kenapa penerbangan hari itu begitu penuh dan harganya tak murah. Tai. [caption id="attachment_178665" align="aligncenter" width="335" caption="lapak pernak-pernik F1 di Orchard Road"][/caption] Aku tak berniat untuk membuat kontras. Tapi aku memang tak mempunyai kultur mobil dan apalagi balapan mobil dan segala mesin dan apalagi F1. Aku bahkan tak tahu apa itu mesin 2 tak, dan 4 tak, dan kenapa tak ada 3 tak (ketika aku membaca novel Marina Lewycka, A Short History of Tractors in Ukrainian, aku bahkan tak tahu di mana lucunya tentang keberadaan tak-takan ini. Sungguh!) Aku tak berniat untuk romantik, tapi aku memang menempuh sebagian besar umurku dengan bersepeda dan berjalan kaki dan tersandung-sandung dan terkadang menginjak tai. Tapi tentu saja, aku juga terkadang naik sepeda motor. Tentu saja aku juga naik berjenis transportasi umum untuk perjalanan jarak jauh. Ayahku dulu pernah punya sebuah truk, yang ia beri nama Sridadi, untuk mengangkut segala jenis hasil bumi yang merupakan barang dagangannya. Sewaktu kecil aku pernah satu dua kali naik ke atas baknya. Hanya sekitar setahun ayahku memiliki truk itu sebelum kemudian menjualnya. Itu adalah satu-satunya keterlibatanku dengan mesin. Semasa hidupnya ayahku juga selalu bersepeda kemana-mana. Sepedanya berbunyi tik tik tik apabila ia menghentikan putaran kayuhannya. Kakak lelakiku dan aku sering meminjam sepedanya. Pada suatu kesempatan aku pernah dibonceng kakak lelakiku dan kakiku terjepit roda belakang. Saat itu aku berusia sekitar enam tahun. Kulit kakiku mengelupas hebat. Dan apa yang dikatakan ayahku pada waktu itu sungguh menakjubkan: “Seluruh orang di dunia ini pernah dan akan mengalami terjepit roda sepeda, jadi itu hanya masalah waktu bagi umat manusia, jangan kuatir!” Kini aku tahu ucapan itu tak benar. Omong kosong belaka. Tak ada kaitan antara keberadaan umat manusia dan kejepit roda sepeda. Jadi apa yang harus aku katakan tentang F1? Night Race? Button atau Messa? Siapa sih pemilik Mercedes? Ferrari? Shell? British Petroleum, Exxon mobile? Kenapa perang Irak terjadi? Karena minyak? Tai! [caption id="attachment_178725" align="aligncenter" width="302" caption="lintasan night race yang terkenal itu"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H