Saya melakukan riset kecil-kecilan bersama beberapa teman. Dan bagi kami riset ini jauh lebih berguna daripada riset tentang segala tetek bengek menjelang pemilihan umum 2014 dan atau berbagai tai lainnya.
Jadi inilah riset kami. Perhatikan ini.
Bahwa rata-rata para penyelenggara hajatan kawinan memesan makanan sepuluh persen lebih banyak dari jumlah tamu yang mereka undang. Ini mereka lakukan untuk berjaga-jaga, sebab kekurangan makanan dalam sebuah hajatan adalah sebuah malu besar. Jadi apabila mereka menyebar seribu undangan (satu undangan dihitung untuk dua orang, suami dan isteri), maka mereka akan memesan dua ribu duaratus porsi makanan.
Sepuluh persen adalah angka yang biasa. Semakin kaya si pemilik hajatan, maka jumlah porsi untuk berjaga-jaga akan jauh lebih banyak.
Dan ironisnya, jumlah minimal tamu yang tidak datang dalam hajatan kawinan adalah juga sepuluh persen dari jumlah undangan. Ingat, angka minimal!
Jadi, sekali lagi perhatikan ini, apabila semua berjalan sesuai hitungan saya, maka jumlah porsi makanan yang sudah terpesan tapi tidak termakan adalah dua puluh persen dari seluruh jumlah porsi makanan (gabungan dari sepuluh persen tamu yang tak datang dan sepuluh persen kelebihan untuk berjaga-jaga).
Jadi Apabila ada seribu undangan, maka yang akan tersisa adalah empat ratus porsi makanan (yang terdiri dari snack dan makanan berat).
Sekali lagi, itu angka minimal.
Tentu saya tak lupa akan para tukang parkir, tukang kamera, para pramusaji dan pelayan, hansip, perias, tukang lampu, penjaga gedung, dan sebagainya dan sebagainya yang akan ikut makan. Tapi jumlah mereka tak lebih dari lima persen dari porsi makanan yang tersisa.
Riset ini valid. Kami telah melakukan banyak wawancara dan investigasi ke para pengusaha katering, pemilik gedung untuk hajatan, manager hotel, tukang kamera, perias, dan juga tak lupa kepada para pemilik hajatan dan tamu undangan itu sendiri.
Inilah retakan kebudayaan. Inilah celah. Inilah kesempatan bagi kita untuk makan enak tanpa perlu bayar.