Hukuman terberat di dunia yang runyam ini, bisa jadi, adalah dikarantina selama seminggu bersama Raam Punj*bi (di dalam sebuah kamar tertutup penuh wewangian dengan sebuah teve besar di setiap sisi dindingnya yang selalu menayangkan sinetron-sinetron produksinya).
Sinetron. Sinema elektronik. Meminjam istilah Goenawan Mohammad, persoalannya bukanlah karena sinetron itu terasa tolol, tapi sesuatu yang lebih serius, yakni adanya hubungan langsung antara sinetron dan hampanya kehidupan publik.
Pertanyaannya adalah: Apakah sinetron yang menyebabkan kehampaan publik, atau sebaliknya, kehampaan publik yang menciptakan sinetron?
Tapi apapun itu, ada semacam kengerian di dalam hubungan tersebut. Bayangkan hubungan ini: Publik yang hampa dan sinetron yang palsu dan norak. Publik yang emoh politik dan akting yang bikin eneg (ada ibu tiri yang lebih galak dari ikan cupang!). Publik yang apatis dan peran ustad yang sok suci dan bisa menangkap hantu.
Ah Punj*bi, aku pernah bermimpi engkau mati kelindes bemo, sungguh !!!
Siapapun tahu untuk apa dan bagaimana sinetron diproduksi. Penulis naskah bekerja tekun dan cepat seperti tengah membuat kue donat (yang penting manis!). Sutradara dan perias bekerja saling bertukar peran (karena sama-sama kacau). Dan para pemain melotot dan menangis. Dan lalu, ini yang terpenting dalam industri ini, Iklan menyela seperti banjir. Dagang, dagang, dagang.
Dan lalu, berjuta penonton ???
Tak ada bunyi apapun di sana. Hampa.
--
toha adog
(www.tohaadog.wordpress.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H