Mohon tunggu...
Toha Rastafara
Toha Rastafara Mohon Tunggu... -

seorang penikmat sastra dan juga seorang programmer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sondang: antara Tragedi dan Ironi

15 Desember 2011   13:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:13 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sondang Hutagalung, Mahasiswa aktivis Jurusan Hukum Universitas Bung Karno yang beberapa waktu lalu membuat terenyak masyarakat dengan aksinya membakar diri didepan Istana Negara. Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah dirawat empat hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Hal ini menimbulkan pertanyaan serius yang harus dijawab.

Mari kita Lepaskan dahulu dari urusan “benar dan salah”, “surga dan neraka”, “etis dan tidak etis”. Membakar diri didepan Istana Negara bukanlah sesuatu yang biasa terjadi di Indonesia. Tak habis pikir mengapa Sondang sampai bertindak ekstrem, membakar diri. Ini menimbulkan reaksi yang tidak biasa karena sepanjang sejarah Indonesia tidak mengenal membakar diri sebagai ekspresi untuk memperjuangkan sesuatu.

Atas dasar tersebut, tragedi ini menimbulkan reaksi (kebanyakan) negatif karena dianggap “berani mati tapi tak berani hidup”. Mengingat umurnya yang masih muda dan semangatnya yang bergelora, banyak orang menyayangkan aksi ini. Kekuatan dan mental yang kuat bisa disalurkan dengan berbuat sesuatu untuk masyarakat.

Disadari atau tidak ini merupakan tragedi yang memilukan. Sebagai pemuda agen perubahan (agent of change) yang berbuat melampaui dirinya. Sondang harus merelakan jiwa dan raga untuk menuntut perubahan. Sejauh ini Sondang lebih dikenal sebagai aktivis hak asasi dan penentang korupsi. Entah karena sudah kehilangan daya juang untuk berdemonstrasi atau Sondang ingin bersuara lebih lantang dengan membakar dirinya sendiri.

Seolah ironi karena para pejabat, politisi, menteri, dan para petinggi Negara tidak pernah menggubris suara – suara para demonstran yang menyebabkan kehilangan satu orang yang sudah menggantungkan hidupnya untuk berjuang, berjuang, dan terus berjuang melawan para koruptor. Saat gemerlap kapitalis menghancurkan moral para petinggi, justru memunculkan sebuah ideologi yang meraung keras di kalangan menengah kebawah.

Peristiwa ini, tidak bisa dielakkan dan dibantah seolah tidak pernah terjadi. Mari bersama membuka mata, pikiran, dan hati untuk bisa memahami apa yang sebetulnya ingin disampaikan oleh Sondang. Bahwa ada yang tidak beres dengan negeri ini. Ada yang perlu dibenahi bersama atau kematian Sondang akan sia- sia belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun