COVID 19, APA YANG TABU MENJADI TIDAK TABU
(Pembelajaran Bagi Gereja Tuhan Lewat Pandemi Covid 19)
Pada Tahun 1980 an banyak gereja menolak gitar listrik dan efek gitar karena dianggap representatif musik rock dan heavy metal yg mewakili genre atau jenis musik yg dipengaruhi kuasa kegelapan atau setan. Kenyatannya sejak tahun 1997 an sampai sekarang banyak gereja memakai gitar listrik dan efeknya untuk mengiringi ibadah gereja di hari Minggu.
Diakhir tahun 1990 an banyak gereja mencibir penggunaan OHP (Over Head Projector) dalam ibadah hari Minggu dan menganggap bahwa ibadah seperti layaknya seminar atau konferensi. Seiring berjalannya waktu pada tahun 2000 an OHP berevolusi menjadi LCD (Liquid Crystal Display) yg sifatnya audio visual dan lebih canggih serta dinamis. banyak gereja menggunakannya.Â
Beberapa tahun kemudian LCD berevolusi lagi menjadi LED (Light Emitting Diode) Videotron screen yakni layar yang memiliki resolusi jernih dan tinggi yang banyak dipakai digereja-gereja yang mampu membelinya secara keuangan. Hari ini gereja yg dulu mentabukan pemakaian layar LED pun sekarang banyak yang menggunakannya di ibadah minggu sebagai pengganti kertas liturgi yg dibagikan karena lebih praktis dan dinamis (bisa menayangkan pengumuman mimbar gerejawi secara audio visual).
Sejalan dengan itu banyak pengkhotbah memakai laser pointer dan Alkitab elektronik (tab) sebagai media untuk membantu penyampaian khotbahnya. Apakah sekarang terjadi penolakan? Tentu saja ada yg masih kontra, tetapi jumlahnya sedikit dan kebanyakannya gereja-gereja di pedesaan dan gereja yang masih konvensianal.
Menjelang tahun 2000 an banyak gereja yg menolak dan mencibir penggunaan lampu warna warni dan lampu laser didalam ibadah hari minggu karena dianggap akan membuat gereja seperti diskotik dan konser musik dunia yg penuh hedonisme. Kenyataannya kemudian banyak gereja membuat ibadah minggu gemerlap dengan tata lampu dan laser berbagai warna apalagi saat liturgi pujian penyembahan dinaikkan.
Tahun 2012 an, ketika wacana gereja online dan kolekte serta perpuluhan online diwacanakan dan ada gereja yg coba mempraktekkannya, banyak gereja yg mulai mencibir dan menyatakan bahwa dunia telah memasuki sistem satu mata uang dan menuju pada era anti Christ. Belakangan setelah muncul sistem online shop, system pembayaran online (ovo, gopay, dsb) serta jasa angkutan online (grab, uber, gojek) gereja mulai memikirkan  pemberian dan perpuluhan dengan memakai sistem online.Â
Mengapa? Karena dianggap lebih praktis dan  efektif dimana uang persembahan dan persepuluhan tak harus dihitung lagi setiap minggu, uang otomatis langsung masuk ke rekening bank gereja dan bisa menghindari kehilangan atau pencurian oleh orang-orang yg tak bertanggung jawab.
Yang paling bersejarah adalah untuk pertama kali diseluruh dunia selama beberapa bulan (khususnya bulan Maret dan April 2020) ibadah hari Minggu dilakukan secara online karena hampir seluruh pemerintah mengharuskan seluruh penduduk nya untuk beraktivitas didalam rumah yakni lock down dan stay at home  dan yang luar biasa lagi untuk pertama kali juga dalam sejarah  perjamuan kudus diseluruh dunia khususnya pas saat hari memperingati Jumat Agung dilakukan melalui ibadah online, tidak terkecuali hal tersebut dilakukan pula oleh gereja Katolik yang sangat mensaklarkan perjamuan kudus. Hal yang tabu pada akhirnya menjadi tidak tabu.
Kini setelah pandemi covid 19 melanda dunia mau tak mau, suka tak suka banyak gereja melakukan ibadah dan sistem pemberian via online dan hal tersebut tidak lagi tabu dan tak perlu diperdebatkan.
Pertanyaannya bagaimana ibadah gereja setelah pandemi Covid 19 berakhir? Tentu ibadah akan tetap dilakukan lagi secara tatap muka karena manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial yang suka dan membutuhkan perhatian, dukungan dan interaksi langsung, apalagi yg sudah memiliki gedung gereja yg permanen, fasilitas harus tetap dimanfaatkan kalau tidak akan mubazir.Â