Mohon tunggu...
Togar Arifin Silaban
Togar Arifin Silaban Mohon Tunggu... ASN -

Life is easy when you make it easy.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Metodologi dengan "Kebiasaan" di Sidang Jessica

21 September 2016   07:59 Diperbarui: 21 September 2016   08:08 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Persidangan terbunuhnya Mirna dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso memasuki tahapan yang semakin menarik. Sidang yang disiarkan secara live oleh stasiun televisi membuka sejarah baru proses peradilan. Televisi membawa sidang peradilan menyajikan kepada publik bagaimana sebenarnya proses merumuskan keputusan hukum di peradilan kita. Publik disuguhi perdebatan menarik antara saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan yang dihadirkan oleh Kuasa Hukum terdakwa Jessica. Sebagai orang awam, saya mendapat pencerahan baru tidak saja dalam bidang hukum tapi juga dalam melakukan analisis terhadap suatu persoalan.

Penayangan peradilan Jessica, telah menempatkan publik sebagai bagian dari proses pengadilan. Proses pengadilan tidak lagi hanya menjadi domain, hakim, jaksa, terdakwa, saksi, panitera, dan penasihat hukum semata. Publik menjadi terlibat dan diaduk-aduk emosinya menyaksikan bagaimana jaksa, penasihat hukum, saksi dan hakim memberikan argumentasi masing-masing. Perdebatan seru antara jaksa dan penasihat hukum menjadi bumbu penyedap dari drama peradilan Jessica.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencoba meyakinkan hakim bahwa Jessica lah satu-satu nya orang yang paling bertanggung jawab atas tewasnya Wayan Mirna Salihin. Untuk itu JPU membangun argumentasi seolah-olah Jessica Kumala Wongso telah “menyusun rencana” pembunuhan. Itulah sebabnya dakwaan yang diajukan adalah “Pembunuhan Berencana”, yang diancam dengan hukuman maksimal. Berbagai barang bukti ditampilkan demikian juga kesaksian dari orang-orang yang diangap terkait dengan kematian Mirna di Café Olivier. Sejumlah saksi ahli memberikan kesaksian untuk memperkuat argumentasi JPU.

Untuk mendukung tuntutan jaksa, saksi ahli yang ditampilkan adalah orang-orang yang dianggap sangat mumpuni di bidang masing-masing. Mereka pada umumnya orang-orang yang sudah sangat sering dilibatkan dalam kasus-kasus pidana yang pernah disidangkan di pengadilan. Bagaimana tidak, diantara para saksi ahli itu ada Professor Ronny Nitibaskara, guru besar Fakultas Hukum Universitas (UI), dan Professor Sarlito Wirawan, guru besar Fakultas Psikologi UI. Kedua nama terakhir ini sudah sangat senior dan bisa dikatakan sebagai “begawan ilmu” di bidang masing-masing.

Para saksi ahli yang diajukan oleh JPU hampir semua memojokkan Jessica. Saksi ahli membangun argumentasi dari melihat dan mengamati kebiasaan, perilaku, gestur bahkan bentuk wajah Jessica, baik itu yang diamati ketika pemeriksaan oleh penyidik, mapun dengan pengamatan pada rekaman CCTV di Café Olivier saat Mirna meregang nyawa. Dari pengamatan itu para saksi ahli berkesimpulan bahwa Jessica dinilai sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas tewasnya Mirna.

Kesaksian para ahli dicoba dimentahkan oleh Tim Penasihat Hukum yang dipimpin Otto Hasibuan. Pertanyaan, dan bantahan Otto membuat para ahli seperti “kalang kabut”. Otto Hasibuan memang sangat cermat memperhatikan argumentasi saksi ahli. Otto selalu mempertanyakan metodologi yang dipakai ahli untuk membuat argumentasi dan kesimpulan dalam proses peradilan Jessica. Kebanyakan saksi ahli tidak dapat menjelaskan secara runtut dan sistematis bagaimana metodologi ahli menyusun argumentasi dan menyimpulkan pendapat mereka. Bahkan ketika Otto terus mengejar argumentasi dan kesimpulan saksi ahli Sarlito Wirawan, Guru Besar Fakultas Psikologi UI itu sampai berkata: “Pokoknya saya berpendapat begitu”. Sudah barang tentu jawaban saksi ahli yang demikian melemahkan metodologi yang dipakai.

Sejauh ini Otto Hasibuan cs menampilkan argumentasi yang lebih bisa diterima akal sehat, ketimbang argumentasi yang disampaikan oleh saksi ahli yang diajukan JPU. Di satu sisi, semua saksi yang diajukan tidak satupun yang menyatakan kalau mereka menyaksikan Jessica memasukkan racun Sianida ke dalam kopi Mirna. Fakta ini menjadikan JPU dan saksi yang diajukan harus membuat argumentasi bahwa gerak-gerik, gestur, dan raut muka Jessica lah yang dijadikan pedoman bahwa Jessica sebagai orang yang membunuh Mirna. Argumentasi yang diajukan JPU agak lemah kalau tidak mau dikatakan sebagai argumentasi yang ceroboh. Tim Kuasa Hukum sangat cermat melihat kelemahan argumentasi JPU dan saksi ahlinya, karena itu Otto selalu menanyakan metodologi yang digunakan saksi ahli.

Sejatinya seorang yang dikategorikan sebagai Ahli (ahli apapun) ketika melakukan analisis haruslah didasarkan pada metodologi yang secara keahlian dapat dipertanggungjawabkan. Kalau metodologi yang digunakan seorang ahli hanya berdasarkan asumsi dan kelaziman, sudah tentu argumentasi dan kesimpulan yang dilakukan seorang ahli sangatlah tidak bisa dipertanggung jawabkan. Apalagi ketika analisis seorang ahli yang akan berdampak hukum, maka metodologi ilmiah dan keahlian menjadi dasar yang sangat penting.  

Puncak dari kecermatan Otto Hasibuan dan kawan-kawan adalah ketika mereka mengajukan saksi ahli yang bisa memberikan metodologi yang tidak saja sistematis dan terstruktur, tapi lebih bisa diterima akal sehat. Saksi ahli yang diajukan Otto bahkan menjungkirbalikkan argumentasi yang disampaikan oleh saksi ahli yang diajukan JPU. Metodologi yang digunakan saksi ahli Kuasa Hukum dijelaskan secara runtut. 

Dampak dari kesaksian yang diajukan Tim Kuasa Hukum membawa akibat yang sangat signifikan terhadap opini publik pada peradilan Jessica. Simpati pada Jessica mulai bertumbuh. Jessica yang semula dicemooh sebagai orang yang sangat dingin dan misterius, mulai mendapat simpati dari masyarakat. Sudah ada beberapa kelompok yang menyatakan memberi dukungan moral kepada Jessica. Jangan-jangan Jessica menjadi korban dari proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang tidak komprihensif.

Peradilan ini yang semula dianggap tidak terlalu sulit bagi majelis hakim, tapi sekarang ini memasuki tahapan dimana majelis hakim harus benar-benar menggali semua informasi yang ada, termasuk informasi yang tersembunyi, supaya keadilan benar-benar ditegakkan. Tingkat kesulitan peradilan sedemikian tinggi sehingga salah anggota majelis hakim mengatakan bahwa ia menjadi bingung dengan kesaksian ahli yang mengaku ahli, tapi mereka memberikan argumentasi dan kesimpulan yang bertolak belakang atas satu persoalan yang sama. Hakim yang diberi wewenang memutus perkara, karena itu majelis hakim tidak hanya dituntut mampu memutus perkara secara adil, tetapi juga harus mampu menjelaskan argumentasi putusan yang diambil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun