Mohon tunggu...
Taufik Nurhidayat
Taufik Nurhidayat Mohon Tunggu... lainnya -

Wanna be a Social Journalist.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konsep Dekonstruksi Derrida

22 Juni 2013   01:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 10867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jacques Derrida merupakan seorang keturunan Yahudi yang lahir di El-Biar, sekitar Aljazair, pada tahun 1930. Ia pernah belajar di Ecole Normale Superieure (ENS), hingga akhirnya menjadi dosen tetap di lembaga tersebut pada 1967-1992. Derrida merupakan seorang pemikir yang kritis terhadap filsafat modern dan berbagai karya sastra tapi ia sendiri menolak disebut sebagai filsuf atau sastrawan.

Derrida tertarik untuk mengkritik filsafat modern karena filsafat modern identik dengan pandangan metafisika kehadiran (being) dan logosentrisme (percaya pada rasio). Metafisika kehadiran menjelaskan bahwa suatu konsep atau teori akan dibenarkan jika sudah mewakili “being” (ada). Sesuatu yang “ada” itu bisa terwakili oleh kata dan tanda. Derrida memiliki penolakan terhadapa pandanagan tersebut, menurutnya kata, tanda, dan konsep bukanlah kenyataan yang menghadirkan “ada” melainkan hanya berupa “bekas”(trace). Baginya, sesuatu yang “ada” bersifat majemuk, tak berstruktur, dan tak bersistem, hingga tak bisa sekonyong-konyong dibenarkan melalui kata, tanda, dan konsep tunggal. Maka metafisika kehadiran taua biasa disebut metafisika modern tersebut harus dibongkar (dekonstruksi) untuk menemukan solusi atas permasalahan modernitas.

Para filsuf barat acapakali mengunggulkan “logosentrisme”. Tradisi logosentrisme menonjolkan kecenderungan berpikir binner dan hirarkis. Logosentrisme menganggap bahwa yang pertama merupakan sumber (pusat) kebenaran, sedangkan yang berikutnya adalah kebenaran pinggiran dan selalu menjadi hal marjinal bila dibandingkan dengan konsep awal (pertama). Apalagi logosentrisme identik dengan konsep totalitas dan konsep esensi. Konsep totalitas menyatakan bahwa kebenaran adalah satu. Sedangkan konsep esensi menyatakan tentang dasar sesuatu pada pengetahuan. Kedua konsep tersebut, baik totalitas maupun esensi bisa menjadi konsep-konsep yang memaksa atas adanya sesuatu pengetahuan dan melegitimasi kekuasaan berdasarkan rasio dan pengetahuan. Logosentrisme seringkali menjadi pandangan bagi pemikiran modern yang menimbulkan dikotomi subyek-obyek. Subyek bisa sepuasnya mengeksploitasi obyek dan menentukan validitas kebenrannya terhadap obyek. Kebenaran ini seringkali dicirikan dengan kebenaran tunggal, absolut, dan universal.

Derrida menyatakan bahwa filsafat yang cenderung mencari kebenaran absolut acapkali meninggalkan pengertian bahasa dalam menyusun konsep dan teori. Filsafat menyatakan bahwa kebenaran dan teori mampu merepresentasikan kebenaran apa adanaya. Derrida menginginkana kebenaran tidak mesti tunggal, absolut, dan universal. Oleh karenanya Derrida selalu bergairah untuk mendekonstruksi pemikiran modern. Proyek dekonstruksinya diawali dengan memusatkan perhatiannya pada bahasa karena ide, gagasan, dan konsep diungkapkan melalui bahasa. Dalam bahasa terdapat prioritas dan kepentingan. Pandangan modern menunjukkan bahwa kata pertama menjadi fondasi, prinsip, dan dominasi terhadap kata-kata berikutnya.

Namun pandangan dekonstruksi Derrida sering disalahpahami sebagai upaya untuk mengomentari masalah karya sastra, teks-teks bacaan, dan naskah-naskah kuno. Tapi hal itu dimentahkan oleh Derrida dengan bukti bahwa ia turut aktif dalam penentanganterhadap apartheid, pelanggaran HAM, dan ia sendiri mendukung gerakan feminis.Maksud Derrida sendiri ingin menyatakan juga bahwa metode deskontruksi juga bisa berlaku terkait isu-isu sosial, politik, budaya, dan lainnya.

Pemikiran dekonstruktif Derrida berupaya untuk menunujukkan bahwa ada pemikiran lain yang bisa menjadi pemikiran alternatif disamping pemikiran yang telah “ada”.Konsep yang ia tawarkan ini bisa menjadi suara lebih bagi pemikiran-pemikiran yang selama ini terpinggirkan oleh pemikiran tunggal yang menjunjung tinggi logosentrisme. Dekonstruksi tidak berarti menjurus pada penghancuran suatu konsep tanpa solusi. Tapi dekonstruksi juga bisa menawarkan konsep baru untuk menggantikan konsep lama. Inilah yang membedakan konsep dekonstruksi dengan nihilisme (ketiadaan) Nietzsche. Kaitannya dengan bahasa, Derrida ingin membiarakan bahasa pada karakter yang paradoks, polisemi, dan ambigu. Jika karakter tersebut dihidupkan kembalai dalam bahasa, ia berharap bahwa filsafat tidak akan bisa lagi diklaim sebagai suatu otoritas kebenaran.

Filsafat modern (pemikiran) Barat identik dengan kebenaran yang tunggal, mutlak, dan absolut. Melalui dekonstruksinya, Derrida ingin menyampaikan bahwa kebenaran lama bisa dibongkar dan hal-hal alternatif lainnya bisa menjadi kebenaran baru. Derrida juga sepakat dengan Foulcault bahwa kebenaran yang berdasar pada pengetahuan tidak bisa lepas dari kepentingan kekuasaan. Kelebihan dari dekonstruksi ini bisa memacu para pemikir lain untuk andil dalam menentukan kebenaran menurut apa yang mereka butuhkan. Dekonstruksi Derrida tentunya bisa menjadi jalan untuk menduking pluralitas pemikiran dan penyikapan dalam berbagai bidang kehidupan.

Namun banyak yang mencela konsepdekonstrusi ini karena konsep tersebut cenderung dianggap tidak konsisten dan tidak berprinsip. Karena pandangan dekonstrusinya inilah Derrida dianggap sebagai salah seorang tokoh posmodernisme yang pluralis. Tapi walau Derrida memiliki pandangan tersebut,ia tidak mengiyakan bahwa konsep dekonstruksi merupakan konsep penghancuran tanpa adanya konsep lain. Baginya konsep ini bisa mengatasi problem masyarakat modern yang terjebak oleh kebenaran tunggal. Ia sendiri berpendapat bahwa kebenaran tunggal merupakan produk kapitalis dan dipaksakan secara totaliter ke berbagai aspek kehidupan dan disusupkan melalui bahasa yang dipakai manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun