Mohon tunggu...
Tofik Pram
Tofik Pram Mohon Tunggu... Jurnalis - Warga Negara Biasa

Penulis dan editor konten lepas http://tofikpr.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menikmati Sastra dalam Toilet

7 Juni 2013   13:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:24 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

REALISME sosialis itu sendiri bukan hanya penamaan satu metode di bidang sastra, tapi lebih tepat dikatakan satu hubungan filsafat, metode penggarapan dengan apresiasi estetiknya sendiri. Penamaan satu politik estetik di bidang sastra yang sekaligus juga mencakup kesadaran adanya front, adanya perjuangan, adanya kawan-kawan sebarisan dan lawan-lawan di seberang garis, adanya militansi, adanya orang-orang yang mencoba menghindari diri dari front ini untuk memenangkan ketakacuhan.” Pramoedya Ananta Toer (Dikutip dari sini) Ya, saya adalah pengagum Pram. Tapi, saya tidak memberhalakannya. Ya, saya mencintai karya-karya Pram. Dan saya akui tanpa kemunafikan, idealisme dalam permainan kata dan kalimat Pramoedya Ananta Toer begitu mempengaruhi karya dan cara pandang saya tentang kehidupan, sejak saya mengenalnya tahun 1996 lalu hingga ke depan nanti. Ya, saya sangat setuju dengan risalah Eyang Pram ini; “Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental”. Saya akui bahwa saya dilahirkan sebagai pria yang beruntung. Bukan lantaran saya ganteng, cerdas, atau lahir di tengah keluarga kaya. Namun, saya merasa beruntung sebab orangtua memberi nama yang membawa unsur Pram di antara nama asli saya, sekaligus memberi saya ruang seluas-luasnya untuk membaca dan menuntaskan rasa keingintahuan saya –yang hingga detik ini saya rasa belum pernah tuntas. Bapak dan Ibu tak pernah membatasi segala upaya eksplorasi pengetahuan saya. Mereka malah mengajangi saya seluas-luasnya. Sejak saya masuk sekolah dasar hingga SMP, setiap hari kala pulang sekolah, di samping bantal tempat tidur saya selalu tersedia segala macam bacaan, mulai dari majalah Bobo, Ananda, Mentari, Hai, Kawanku; aneka macam komik semacam Gareng-Petruk, Kungfu Boy, Tiger Wong, Doraemon; berbagai macam novel fiksi maupun non-fiksi besutan Sutan Takdir Alisjahbana, La Rose, Gola Gong, Bastian Tito, S Ito, Enyd Blyton; hingga seri detektif Wolfgang Ecke dan Alfred Hitchkock & Trio Detektif. Almarhum Ibu yang rutin menyediakan banyak jendela dunia di samping bantal saya itu, sebagai penghantar mimpi-mimpi saya, baik dalam tidur maupun tentang masa depan. Al Faatihah untuk Ibu, semoga bahagia di sana.

***

PADA suatu petang di tahun 1996, ketika saya masih duduk manis di bangku kelas III SMP Negeri 2 Madiun, Bapak yang baru saja pulang dari luar kota memberi saya sebuah kitab, yang ternyata akan memengaruhi cara pandang saya tentang kehidupan secara fundamental. Kitab kumal bersampul cokelat, dan dicetak di atas kertas murahan berwarna cokelat, menggunakan font courer, khas mesin ketik itu, adalah Bumi Manusia, seri pertama dari Tetralogi Pulau Buru. ”Bacalah ini, kamu akan tahu apa itu kehidupan,” tutur Bapak. ”Tapi hati-hati, itu buku berbahaya. Baca di rumah saja, jangan sampai terbawa keluar,” imbuh Beliau. Saya yang penasaran dan mulai bosan dengan buku-buku atau majalah yang biasa disediakan Ibu, langsung melahap buku ’berbahaya’ tersebut. Sepertinya alam semesta telah menyelaraskan dasar pola pikir yang terbangun dalam otak remaja saya dalam proses panjang, dengan bahasa lezat di dalam buku itu. Saya langsung jatuh cinta pada Minke, Nyai Ontosoroh, Anellis Melema, hingga Darsam, tokoh-tokoh yang berhasil dihidupkan Pram dengan begitu briliannya. Bersama huruf demi huruf yang saya selusuri bersama penasaran, kagum, juga dagdigdug itu, perlahan namun pasti hijab sejarah yang diselubungkan oleh buku-buku pelajaran sejak saya SD itu mulai tersingkap. Beberapa kejanggalan sejarah tentang pergerakan nasional, yang sempat saya rasakan janggal namun tak pernah mendapatkan jawaban memuaskan dari guru saya di kelas, mulai menemukan jawabannya. Ya, saat itulah saya mulai mengenal apa itu sastra realisme sosial. Saya melihat kehidupan dari sisi paling objektif melalui kacamata Minke. Saya terpesona pada keindahan cinta Minke dan Anellis yang bertarung dengan realitas budaya. Saya melihat ketegaran seorang perempuan yang begitu memesona dalam diri Nyai Ontosoroh. Saya menikmati Bumi Manusia, dan saya larut. Tangan besi Orde Baru yang mengharamkan karya-karya Pram karena mereka mengikatnya dalam satu paket paham komunis, masih pada pucuk kekuatannya. Membaca buku Pram sama dengan membaca buku terlarang. Bumi Manusia itu porno, seperti stensilan Kue Serabi Tante Candy karya Ani Arrow. Sejak Bumi Manusia berada di tangan saya di sore itu, sepertinya saya tak pernah ikhlas untuk melepas cengkerama dengannya. Mungkin seperti ketika remaja seusia saya yang asyik mengikuti fantasi libido yang digiring Any Arrow. Semalam belum cukup untuk saya menyelesaikan Bumi Manusia, hingga akhirnya, dengan cara mengendap-endap, saya menyelundupkan buku itu bersama dengan buku pelajaran dalam tas saya untuk saya bawa ke sekolah. Saya memutuskan untuk membacanya di sekolah. Tentu saja, secara sembunyi-sembunyi. Sebab, saya telah melanggar titah Bapak agar membaca itu di rumah saja. Namun, rasa ingin tahu dan kenikmatan historis yang saya rasa begitu nanggung membuat saya memutuskan untuk melanggar titah tersebut. Kala waktu istirahat tiba, saya selundupkan buku itu secara sembunyi-sembunyi di balik baju saya, lalu saya menyelusup ke dalam toilet sekolah yang bau pesingnya auzubillah itu. Toilet adalah satu-satunya tempat paling aman untuk menuntaskan cengkrama saya dengan Pram. Pesing saya abaikan ketika imajinasi dan logika saya larut dalam pergulatan Minke. Ketika saya asyik menikmati Bumi Manusia bersama pesing dan sedikit bau kotoran yang tercecer di toilet itu, saya mendengar bisik-bisik beberapa remaja pria dari toilet sebelah. Mereka seperti sedang membahas hal yang seru. Tapi, saya abaikan saja suara itu, dan saya memilih untuk menimba Bumi Manusia. Di rezim otoriter, Bumi Manusia memang dianggap sebagai karya berbau pesing, seperti aroma wajib dalam toilet tempat saya melahapnya itu, yang harus dihindari, dibuang, untuk kemudian difatwakan haram. Ideologi kapitalisme modern yang dimaklumkan Orde Baru adalah gara-garanya. Hingga akhirnya, tanpa pernah saya duga, tiba-tiba pintu toilet tempat di mana saya berada didobrak oleh guru bimbingan dan penyuluhan alias BP. Belum hilang keterkejutan saya, Bumi Manusia telah berpindah tangan ke guru itu dengan cara kasar. Sampul depan sedikit sobek, beberapa halaman rontok. Tanpa banyak kata, saya langsung diseret ke ruang BP bersama beberapa teman yang bisik-bisik di toilet sebelah. Ternyata, penggerebekan itu berawal dari laporan beberapa siswa tentang adanya kebiasaan murid-murid lelaki membaca buku porno di toilet tiap jam istirahat. Sebab itulah toilet di inspeksi. Sebenarnya sasaran gerebek adalah teman-teman di toilet sebelah yang memang sedang asyik menyelami petualangan seksualitas Tante Candy dan kue serabinya. Dan saya yang kebetulan juga sedang menikmati buku 'porno' secara ideologi rezim itu ikut tergerebek. Usia saya waktu itu 14 tahun, duduk di kelas III SMP, posisi saya Ketua OSIS. Di ruang BP saya dihajar dengan berbagai macam cacian. Saya dituding sedang mempelajari ilmu sesat, layaknya saya membaca The Satanic Tenses besutan Salman Rushdie itu. Saya dituding sedang memberikan contoh buruk bagi teman-teman semua. Saya tidak terima dituding seperti itu. Sebab, saya tidak membaca buku porno seperti teman lain yang tergerebek. Saya tidak terima disamakan dengan mereka. Bumi Manusia jelas jauh lebih luhur daripada Kue Serabi Tante Candy. Saya ajukan dalil bahwa Bumi Manusia adalah buku yang mencerahkan, memperluas cakrawala keilmuan saya. Apalagi saya muslim, yang harus membaca untuk kehidupan yang lebih baik. Tuhan yang saya percayai menitahkan iqra’ pada ayat pertama yang diturunkanNya. Tapi dalil saya tak pernah diterima. Saya tetap dihukum dengan ancaman skorsing dan Bumi Manusia dirampas. Dalil apapun tak bisa diterima guru BP. Saking jengkelnya, saya sampai tantang dia berkelahi. Kalau dia menang, boleh dia bawa Bumi Manusia itu. Tapi, jika saya menang, saya boleh membawa pulang buku hebat itu. Namun, tantangan saya dijawabnya dengan menelepon Bapak. Kepada Bapak guru itu bilang, anaknya kurang ajar, melanggar peraturan sekolah dan negara, dan bisa dijerat UU Subversif. Bapak yang terkejut saat itu juga datang ke sekolah. Beliau menemui guru dan kepala sekolah, sementara saya menunggu di ruang sebelah. Dengan pengaruh Beliau yang kala itu aktif di salah satu partai oposisi era Orde Baru, Bapak berhasil menyelamatkan saya dari ancaman skorsing. Sayang, beliau tidak berhasil membawa pulang Bumi Manusia untuk saya. Kecewa saya begitu sangat. Tapi, apa mau dikata. Mungkin saya kualat, telah melanggar titah Bapak. ”Sudah aku bilang, baca saja di rumah,” kata Bapak, tanpa sedikit pun emosi. Bapak begitu memahami saya, dan paham kenapa saya senekat itu. Beliau hanya tersenyum dan berjanji pada saya akan berusaha mencari lagi buku sejenis jika Beliau ke luar kota lagi. Sayang, janji itu tak pernah berhasil Beliau penuhi. Hanya 140 halaman Bumi Manusia yang berhasil saya nikmati. Lulus SMP, hingga SMA, tak henti saya mencari informasi di mana saya bisa mendapatkan buku serupa. Upaya saya gagal. Hingga akhirnya saya harus menerima kenyataan, bahwa otoritas rezim itu tak bisa ditawar. Politik hegemoni selalu berusaha memisahkan masyarakatnya dari kenyataan yang utuh dan komplit demi langgengnya kekuasaan. Fakta-fakta sosial adalah wacana yang diproduksi dengan sensor ketat. Realisme sosialis tak pernah mendapatkan tempat. Di dalam toilet sekalipun. Hingga ketika saya nyaris lulus SMA, reformasi bergemuruh. Rezim kuku besi tumbang. Kebebasan diteriakkan di manapun; kebebasan berpendapat, beragama, pers, semua bebas murni. Gus Dur punya kebijakan yang begitu menyejukkan. Dan di antara gemuruh itu, saya mendengar berita bagus yang saya yakini akan menjawab kerinduan saya yang terkatung selama beberapa tahun; buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer telah diizinkan beredar bebas untuk kalangan umum. Tanpa babibu, di masa libur sekolah, saya pelesir ke Surabaya, langsung memborong empat seri tetralogi Pulau Buru, sekalian dengan Arus Balik, Arok Dedes, Cerita dari Blora, Drama Mangir, Di Tepi Kali Bekasi, dan Panggil Aku Kartini Saja. Manuskrip yang pernah haram itu telah dihalalkan. Dan hijab sejarah itu terkuak makin lebar juga berani. Ternyata tak hanya saya yang menanggung rindu. Banyak orang berbondong-bondong memborongnya. Saya pun senang, akhirnya saya mendapat banyak teman yang sadar sosial. Karya-karya Pram dan yang sejenis dengannya terpampang gagah di rak-rak juga etalase toko buku terkemuka. Realisme sosialis sedang mendapat tempat yang bagus. Di bangku kuliah, bersama beberapa teman yang juga pelahap karya Pram, kami sering berdiskusi, lalu berkarya. Semua demi manusia dan kemanusiaan. Kami pun sepakat; bahwa karya sastra itu adalah wakil dari realitas. Adalah karya yang membebaskan. Adalah serangkaian huruf, kata, kalimat, yang tersusun bersama embusan realitas yang memimpikan keadilan dan kesejahteraan sosial, dalam cinta pada manusia dan Tuhan.

***

REFORMASI menggelinding dengan malas bersama berbagai permasalahan fundamental yang tak pernah tuntas. Hingga akhirnya rodanya membawa pada semacam pengulangan; Orde Baru yang pernah diruntuhkan itu seolah perlahan namun pasti menggeliat kembali dan kembali menancapkan cakarnya. Kebebasan berpendapat kian sumir. Memang boleh beropini, boleh mengungkap kebenaran, tapi pada akhirnya hanya akan berakhir pada intimidasi psikologis berkepanjangan. Modal tetap menjadi nomor wahid, kemanusiaan berada pada posisi paling buncit. Sastra tak begitu lagi mengaca pada kenyataan. Tapi berlomba-lomba mengajak siapa saja untuk lari dari alam nyata dan membangun kerajaan mimpi masing-masing dalam kemasan 'sastra wangi'. Sastra realisme sosialis yang pernah pesing dan sempat ber-euforia di masa awal reformasi kembali tenggelam, digilas sastra modern yang mengajak masyarakat terbang ke awang-awang, lupa pada Bumi dan drama kemanusiaan yang berkelindan di antaranya, dan hanya memicingkan mata pada kemiskinan pun ketidakadilan. Sastra kini lebih mengajak anak-anak muda bercinta, bersetubuh, bermimpi, bersembunyi dalam ruang sunyi ilusi-ilusi tentang cinta yang mereka rasa harus dimiliki, senyampang (sengaja atau tidak) menumpulkan semangat kesadaran sosial mereka, bersama cerita-cerita romantis yang miris, tragis, bahkan cenderung narsis. Sastra tunduk pada hegemoni pasar dan menjadi cermin parsial dari kenyataan yang dipandang secara picik. Apresiasi memang layak disematkan pada penulis-penulis sastra kekinian. Mereka telah memberikan warna baru pada wajah kesusastraan Indonesia, baik dari gaya, tema, maupun diksi, yang membuat dunia wacana kian kaya. Namun, alangkah lebih baiknya jika tempat untuk sastra sosial masih diberikan dalam posisi yang setara. Ah, tentu sayang sekali jika sastra-sastra sosial perlahan namun pasti mulai tenggelam (kembali). Di toko-toko buku itu, Pram dkk tersembunyi di rak-rak paling belakang. Bahkan, ketika saya iseng-iseng bermain di salah satu toko buku di kawasan Depok, seorang pegawai toko itu kebingungan ketika ada pembeli yang menanyakan Bumi Manusia. "Itu buku apa ya? Novel atau literatur?" jawaban si pelayan membuat saya menggeleng miris. Di toko itu hanya ada dua eksemplar yang tersembunyi jauh di rak paling belakang. Di toko buku loak pun sulit menemukannya kini. Dia terkesan gagal menunjukkan pesonanya, kalah dalam persaingan pasar yang kian melindas. Pram dkk hanya menjadi semacam ’berhala’ tanpa implementasi untuk ajarannya. Dia hanya berhasil hidup di ruang diskusi, dengan bahasan dari berbagai macam sisi, namun jarang dalam realisasi. Sastra adalah cermin dari kita dan kehidupan. Kenyataan memang pahit. Tapi dia ada. Begitu pula dengan sastra realisme sosialis, memang pahit, tapi itulah cermin kehidupan. Semoga saja realisme sosialis itu tak harus kembali mengalami miris, ketika dia diharuskan kembali tergiring ke dalam ruang sunyi toilet dan diklasifikasikan sebagai karya pesing; hanya karena dia menolak tunduk pada lupa dan hura-hura pasar bebas yang kian melindas. Semoga saja tidak. [caption id="" align="aligncenter" width="209" caption="Sampul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (ekakurniawan.com)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun