Kebijakan Kementerian BUMN dalam merombak manajemen beberapa BUMN dinilai banyak pihak terlihat sudah salah arah. Hal ini terlihat dari adanya perubahan nomenklatur dan penambahan beberapa direktorat baru yang terjadi pada PT Pertamina (Persero) beberapa hari lalu.
Direktur Gas yang selama ini mengurusi bisnis masa depan Pertamina dihapuskan, sementara Direktur Pemasaran diubah menjadi Direktur Pemasaran Ritel. Selain itu ada pula penambahan nomenklatur Direktur Pemasaran Korporat dan Direktur Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur.
Kebijakan tersebut jelas membuat jajaran manajemen Pertamina menjadi membengkak secara keseluruhan, direksi Pertamina saat ini berjumlah 11 dari semula 10 orang. Sebelumnya susunan direksi Pertamina adalah, direktur Utama, direktur Keuangan, direktur Hulu, dan direktur Gas. Kemudian, direktur Pemasaran, direktur Manajemen Aset, direktur Pengolahan, direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko, direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia, serta direktur SDM.
Setelah direktur Gas dihilangkan, direktur pemasaran kini dipecah menjadi tiga bagian, yakni direktur Pemasaran Korporat, direktur Pemasaran Retail dan Direktur Logistik, Supply Chain, Infrastruktur. Dengan komposisi ini jelas saja membuat struktur Pertamina menjadi membengkak dan tumpang tindih.
Kebijakan ini jelas membuat dewan direksi Pertamina menjadi gemuk, selain itu kebijakan ini seharusnya tidak perlu dilakukan apalagi Presdien Joko Widodo pernah menyarankan agar struktur Pertamina lebih ramping dengan alasan efisiensi.
Kementerian BUMN ini sudah salah arah, dewan direksi membengkak untuk sesuatu yang tidak perlu. Bayangkan berapa banyak SVP, VP, Manager yang akan bertambah dengan kebijakan ini, perhatikan saja struktur PLN, dan Holding Perkebunan. Selain menyulitkan koordinasi langkah ini juga akan menggerus margin pendapatan Pertamina nantinya.
Yang jelas memprihatinkan adalah kebijakan Kementerian BUMN ini menunjukkan sikap pembangkangan terhadap Presiden Jokowi yang menginginkan struktur Pertamina lebih ramping agar lebih efisiensi, padahal saat Jokowi menginginkan hal ini, direksi Pertamina berjumlah 8 orang.
Beberapa kebijakan Kementerian BUMN yang juga sarat kepentingan pribadi, Kementerian BUMN juga tidak jeli dalam mengangkat orang, dalam jajaran birokrasinya. Hal ini bisa dilihat dari pengangkatan salah seorang yang tengah dalam penyelidikan kasus korupsi dan telah diperiksa Kejagung, malah menjadi salah satu deputi di kementeriannya.
Sungguh mengherankan, orang yang tengah diperiksa dan dalam tahap penyidikan kasus korupsi bisa masuk dalam birokrasi, dan mengurus masalah vital di kementerian BUMN. Selain itu kebijakan Kementerian BUMN ini tidak hanya sekali yang salah arah, misalnya pergantian Dirut Holding PTPN III yang hingga kini belum ada penggantinya setelah ditinggalkan Dasuki Amsir.
Dirut Holding PTPN III diganti namun tidak ditunjuk penggantinya hingga kini. Jangan-jangan ini akal-akalan saja dengan menggesernya ke salah satu direktur BTN. Apa perlunya digeser kalau tidak ditunjuk penggantinya.
Hal yang sama pernah terjadi saat Kementerian BUMN menunjuk Wadirut Pertamina beberapa tahun lalu, yang menimbulkan 'matahari kembar' pada perusahaan pelat merah ini. Hal yang sama juga dialami oleh Holding PTPN III dengan adanya nomenklatur Wakil Dirut di strukturnya.