Oleh : Tochirun
Cerpen ini saya persembahkan untuk seluruh Rakyat Indonesia
Suara ‘klerek pintu’ mengagetkan Edy dalam kenyamanan pagi pertama bulan Juli. Kokok ayam digital ipod menandai berakhirnya malam keramat. Jam menunjuk angka 06.30 Waktu Indonesia Barat. Edy bergegas menggulung selimut bludru, memposisikan tidak melorot dari pinggang. Dengan mata setengah ngantuk, Dia meraba ruangan, mengaklimatisasikan cahaya lampu yang semalam padam karena petir. Baru-baru ini PLN sering disibukan oleh kilatan petir yang menyambargardu-gardu listrik milik mereka. Tepat pukul 23.07 tadi malam petir menyambar. Gardu listrik di depan rumahpun tidak luput mendapat giliran. Bulan Juli masih kepala satu, namun sambaran petir akhir-akhir ini menjadi perbincangan rumit. Kenapa petir menyambar di bulan kemarau?.Cuaca susah diprediksi akhir-akhir ini.
“Byurrrr”,siraman air terakhir akhirnya membasuh tubuh dari sabun-sabun.
Dengan sigap Edy mengelap seluruh tubuh dengan handuk hitam bergaris pink kecoklatan.
“Akh..secepatnya” pikir Edy.
Tanpa basa basi, Edy keluar dari kamar mandi. Kemeja putih dan celana hitam serta dasi kupu-kupu hitambernuansa eropa sudah melekat di tubuh tambunnya.Fanatisme terhadap dunia barat tergambar jelas dari sikap dan pemikiranya. Terlahir sebagai anak Borjuis, Edy melanglang buana dari Swiss sampai Belgia. Otak cemerlangnya mendukung setiap langkah dalam dunia akademis, menjadikan pengetahuan makanan dan minuman. Gelar PhD didapat pada usianya yang belum genap 18 tahun. Menjadi master fisikiawan teoritis adalah mimpi selanjutnya.
“Edy, Ayo cepat nanti terlambat !....”
Panggilan lugas itu menandai akhir di depan cermin, tidak lupa sentuhan akhir pada rambut dan dasi kupu-kupu kebanggaanya, Edy terlihat bak pangeran Henry dari Surabaya.
“Ok, mam”.
Tangan trampilnya menyapu koper coklat, lalu bergegas mengikuti langkah mamahnya yang terlebih dahulu keluar rumah. Rumah mewah dengan dua lantai khas gaya Prancisditinggalkan. Sedan mewah membawa mereka meninggalkan rumah elit di kawasan Jakarta Timur.
Sedan Mercedes hitam berhenti tepat di gapura Bandara Soekarno-Hatta. Kecupan manis sang mama menandai perpisahan mereka yang singkat.
“Hubungi mama kalau sudah sampai, mama sudah telat ke kantor”.
Tanpa basa-basi beliau masuk ke mobil, menututup pintu dengan hentakan tegas“Gregg”. Suara pintu mobil ditutup.
Tidak terlihat raut kesedihan atau kehilangan. Momentum perpisahan dengan orang tua satu-satunyasecepat kilat teralihkan. Otaknya menjelajah dengan kecepatan ultra layaknya CPU core i7 generasi ke lima buatan Jepang. 96 jam lagi Dia akan bertemu dengan Fisikiawan terkemuka abad ini. Seorang Profesor Harvard University, Profesor Howkins. Beliau Seorang tunanetra berotak brilian. Sesi wawancara akan mempertemukan mereka pada akhirnya.
”Maaf, pasporAnda?”. Petugas bandara menanyakan.
Lamunan setengah sadarnya akhirnya terbangun. Paspor biru, dengan motif garuda berwarna emas tengah diperiksa.
“Silahkan Tuan tunggu. Pesawat pararel ke Paris akan berngakat 15 menit lagi”. Petugasbandaramempersilahkan.
Anak usia 18 tahun ini, bertubuh tambun, berkarakter tenang, tingginya hanya 1,5 m. Wajahnya tidak mencerminkan usia sebenarnya. Kematangan intelektualnya menempatkannya pada kriteria dewasa sebelum waktunya. Kedewasaan logika mengesampingkan apa yang disebut‘Rasa’. Itulah Edy Pramono Subianto, PhD.
Ketika anak normal seusianya sedang sibuk bermain Game atau nongkrong-nongkrong,Dia sedang duduk menunggu pesawat menuju Paris. Menjemput gelar Master. Saat banyak orang sedang berebut kesempatan, Dia malah ditawari kesempatan.
15 menit berlalu, Edy berdiri, setiap langkah menuju pesawat adalah kebanggaan bagi dirinya, Ibunya serta almarhum Ayahnya dan Mungkin Bangsanya??.
100 pemuda-pemudi istimewa dari segala bangsa diundang setiap tahunya mengikuti seleksi beasiswa Master di Harvard University. Hanya tiga besar dengan kriteria luar biasa yang akan diterima. Salah satunya Edy Pramono Subianto. Seorang anak borjuis berdarah biru dari Surabaya.
Edy tersenyum sungging, mengangkat dagunya, berjalan meyakinkan diantara kursi-kursi penumpang, mencari kursinya sendiri yang bernomor 21 C. Tidak lama, tepat didekat kaca jendela sayap kiri, dia dudukan tubuhnya. Dua kursi di sebelah kanannya masih kosong. Penumpang lain terlihat lalu lalang mencari tempat duduk masing-masing. Dia kelurkan rubik 4 x 4, mengacak warna disetiap sisinya, lalu menyamakan warnanya kembali dengan kecepatan dan keakuratan. Berkali-kali dan selalu memperbaiki waktu kecepatannya.
“Jangan gila, saya sudah memesan tiket ini jauh-jauh hari, dan sekarang sudah di pesawat”.
Terdengar suara wanita muda berbicara keras pada Hand Phone. Shallorange dengan jaket keperak-perakan, rambut ikal sepunggung, mata cokelat,menampakan raut kesal.
Buru-buru Edy memperbaiki posisi duduknya, membiarkan wanita itu duduk di kursi 21 B sebelahnya.
Masih dengan hand phone menempel di telinga kanan.
“Terserah, saya tidak perduli apa yang terjadi, saya akan ke Paris”.
Kembali wanita itu bernada keras, namun kali ini tanganya dengan kasar memencet tombol Hp dengan kesal. Hp dimatikan dan diletakanya ke dalam tas lalu tangan kanannyamembelai rambut yang menutupi mata.
Kini rubik 4 x 4 tidak berarti lagi. Wanita disampingnya menangis tak mampu membendung air dari kelopak matanya. Raut sedih, semangat dan yakin bercampur menghiasi wajah orientalnya, Bola mata cokelatnya kini diselimuti merah darah di sekitarnya.
Dengan sikap kikuk Edy menyodorkan sapu tangan putih bersih miliknya.
“Maaf Nona, silahkan”. Edy menawarkan dengan elegan.
“Terimakasih”. Satu-satunya kata yang dikeluarkan. Tanganya menyambut sapu tangan itu tanpa ragu.
Pramugari-pramugari mulai menempatkan diri mereka. Mereka menarik perhatian semua penumpang. Ceramah standarprosedur penerbangan dimulai. Dengan luwesnya Edy menarik sabuk pengaman, menguncinya tepat di perut gendutnya. Biasa berpergian ke luar negeri membuatnya tidak lagi mendengar instriksi pramuniaga, instruksi protokol standar penerbangan sudah hafal dan faseh iya praktikan. Wanita disampingnya memperhatikan dengan seksama. Pesawat akan segera take off. Parni masih sibuk memperbaiki sabuk dan terlihat tegang menunggu penerbangan pertamanya.
Mengintip keluar jendela,landasan pacu Sukarno-Hatta terlihat mulai bergerak. Pesawat Garuda Air Line bergerak meninggalkan Landasan pacu dengan sudut 250.
Garuda membumbung tinggi, meninggalkan daratan Jawa. Mengubah daratan menjadi kecil dan semakin kecil sepanjang mata melihat. Warna biru mendominasi Nusantara. Inilah kenapa kita menyebut Indonesia sebagai Tanah Air .
“SastroSuparni, Terimakasih sapu tangannya”. Wanita disebelahnya memperkenalkan diri. Raut sedih menghilang seiring menjauhnya pesawat dari tanah nusantara. Putih matanya mulai jernih mengelilingi bola cokelat ditengahnya.
“Edy Pramono Subianto, panggil saja Edy”. Tanganya melambai menyambut jabat tangan wanita muda yang baru saja memperkenalkan diri.
Pesawat mulai terangkat terbang layaknya ‘Garuda’.
“ Ke Paris juga?”. Edy memulai percakapan.
“Iya, tugas kampus, Anda sendiri?”. Jawab Parni dengan logat khas Orang Jawa.
“Kurang lebih sama, undangan dari Harvard University, tepatnya diundang untuk beasiswa Master 2 tahun di sana”. Edy menjelaskan.
“Wow beasiswa yah,kalau saya hanya melakukan riset selama 6 bulan tentang hubungan sejarah perang Salib dengan perkembangan budaya di Jawa.”. Parni menjawab.
“Eropa memang sumbernya”. Lanjut Edy.
“iya, ironis memang, Padahal budaya negeri sendiri masih banyak yang belum di gali, tapi sudah belajar budaya orang lain”.Tawa kecil keluar dari Parni.
“Tidak selalu harus barat kan?. Parni agak serius. Edy hanya diam.
“Yah, tema yang saya ambil sengaja saya kaitkan antara Eropa dan Jawa, agar tidak meninggakan budaya sendiri”. Parni meneruskan.
“ tapi tetap saja banyak yangmendewakan budaya asing”. Parni menggerutu menyesalkan.
“Setidaknya saya bangga dengan Indonesia.Kini pemuda Indonesia lambat laun mulai menunjukan pada dunia”. Seperti Anda tentunya?”.Tanpa ragu Parni memuji Edy.
Edy mengerutkan kening, berfikir betapa konyolnya wanita ini, dari sudut manapun Indonesia itu pecundang. Tidak pernahkah wanita ini membaca sejarah Eropa. Betapa dahsyat dan berkelasnya mereka. Orang-orangnya, budayanya, olahraganya, teknologi dan hampir semua selalu eropa terdepan.
“Spesialisasi, itulah orang-orang Eropa. Mengedepankan rasionalisme, kebebasan, intelektual, seni dan olahraga. Kiblat seluruh ilmu dan budaya dari segala bangsa”. Suara Edy terdengar jelas oleh parni karena nadanya sedikit ketus.
“Albert Enstein, Galileo Galilei, Newton, Pablo Picaso, D’Vinci sampai Amrigo Vespuci, semua adalah pahlawan ilmu pengetahuan. Karena merekalah kita mampu terbang sekarang, karena merekalah dunia terang benderang. Rasanya Tidak pantas Pecundang-pecundang di kursi-kursi dewan disejajarkan dengan mereka”. Suara pongah Edy terdengar lantang mengheningkan percakapan. Edy tidak memberi Parni kesempatan memotong kalimatnya. Edy tersinggung, Eropa yang dia dewakan sedang direndahkan.
Parni tersentak, badanya kaku penuh marah dan kecewa. Hatinya tersayat-sayat perih saat negara tercintanya direndahkan begitu rendah. Indonesia yang dia junjung lebih tinggi dari darahnya, kini dihina oleh warganya sendiri bernama Edy Pramono Subianto. Lebih menyakitkan karena dia murni gen Indonesia.
“Kelak Anda akan mengerti tentang asalmu Tuan PRAMONO!!,” . kalimat bijak sedikit ketus mengendalikan Parni untuk mencaci Edy. Meskipun sedikit menekankan kata Pramono di akhir kalimatnya. Berharap Edy tahu maksudnya.
Edy menatap Parni penuh tanda tanya, perbincangan mereka akhirnya selesai. Perdebatan rasanya tidak baik. Parni baru selesai menangis. Edy mengalah dan diam.
Edy kembali sibuk dengan rubik 4 x 4 nya, sementara Parni mencoba tidur. Perjalanan masih lama. Pesawat akan mendarat di Moscow 12 jam lagi. Setelah itu mereka berganti pesawat dengan Air Eropa menuju Paris.
12 jam berlalu. Parni terbangun, sementara Edy terlihat baru menikmati tidurnya, namun suara instruksi protokol pendaratan pesawat membangukan Edy. Pesawat landding dengan sempurna. Moscow tampak beku. Musim dingin datang lebih cepat. Jalan-jalan bandara dipenuhi salju yang seharusnya datang bulan Desember mendatang.
“Tidak di Rusia tidak di Indonesia,. keanehan cuaca kini menjadi isu global yang membingungkan kaum awam”. Edy menggerutu sambil berjalan menuju Loby Bandara. Penjelasan sederhananya ini dampak pemanasan bumi yang semakin menjadi. Cuaca buruk, banjir, kekeringan, badai, salju sampai petir-petir yang menyerang gardu-gardu milik PLN di Tanah Air. Itu merupakan reaksi bumi pada pemanasan global.
Parni sibuk bertanya kesana-kemari dengan senyum khasnya.
“Selamat malam, maaf Tuan,dimana loket tiket, dimana toilet”. Pertanyaan yang diajukan dalam bahasa Inggris pada orang-orang Rusia yang ditemui. Ini merupakan pengalaman pertama Parni ke luar Negeri. Meninggalkan Tanah Air untuk misi luhurnya. Meskipun saudara-saudaranya melarang Parni sangat keras. Ia bertekad ke Prancis.
Tubuh-tubuh jangkung berlalu-lalang menyindir si Pendek Edy yang sedari tadi sibuk mengantri tiket pesawat ke Paris. Rasa bangga dan optimisme terlihat jelas pada ekspresi wajahnya. Dalam hatinya ia bertekad menaklukan Harvard dengan otak dan kemauan keras yang Dia miliki. Saya sudah di Eropa. Eropa adalah mimpinya, selangkah lagi. Hanya butuh presentasi menjual layaknya Salesperson. Dan dia sebentar lagi menjadi Master. Edy sangat yakin.
Pesawat menuju Paris 30 menit berangkat lebih awal. Tampaknya cuaca buruk menjadi alasan utama pengajuan dan pengunduran penerbangan akhir-akhir ini. Belum sempat Edy duduk, pesawat menuju Paris akan berangkat. Dari Moscow ke Paris menempuh jarak kurang lebih 6231 km. Ini artinya pesawat akan sampai ke Paris sekitar 8 jam perjalanan, jika ditempuh dengan kecepatan 52 knot/menit.
“Paris di depan Mata”. Pikir Edy, Edy menutup matanya, merelaksasikan tubuhnya yang kini mulai terasa lelah, membiarkan otaknya membayangkan bagaimana menara eifel di buat?, kenapa Prancis punya ilmuan-ilmuan hebat?, dan kenapa tubuh orang Eropa tinggi menjulang, apa penyebabnya?.Akhirnya Edy tertidur.
PARIS
“kami punya 33 propinsi, Hampir setiap propinsi mempunyai bahasa ibu. Mempunyai Pakaian adat sendiri, makanan khas sendiri dan kesenian sendiri. Tapi kami merupakan satu Bangsa, yaitu bangsa Indonesia”.Kata-kata dalam bahasa Inggris itu terdengar tegas dan lugas.
Parni mempresentasikan Indonesia pada teman-teman yang baru dia kenal di Prancis. Parni memang seorang wanita yang gampang bergaul. Cara dia berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman yang baru dia kenal sungguh luar biasa. Dalam waktu 3 hari Parni sudah tau tentang komunitas pecinta Gamelan di Prancis. Bahkan dia diperlakukan istimewa ketika teman-temanya tahu Parni dari Indonesia. Hampir seluruh temanya adalah peminat seni dan budaya. Bahkan ada yang menawarkan dan memohon untuk ikut ke Indonesia. Kebanyakan mereka ingin melihat langsung seni budaya Indonesia.
Tujuan utama Parni ke Prancis adalah ingin melihat Indonesia dimata Eropa. Tugas riset yang diperoleh dari kampus benar-benar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.Parni ingin menunjukan pada teman-temanya di Indonesia, bahwa Indonesia itu Luar Biasa. Dia ingin teman-temanya di Indonesia bangga dengan bangsanya. Itulah Sastro Suparni.
Tepat pukul 09.00 Edy terlihat duduk di depan ruang seorang Prof. Fisika Teoritis bersama 100 pemuda-pemudi dari berbagai bangsa. Prof. Howkins namanya. Seorang tunanetra namun berotak brilian. Tidak disangka Edy mendapat giliran ke-2 dalam sesi wawancara ini.
Di ruang sebelah kiri, terlihat seorang pria dengan stelan rapi. Sorang asisten Profesor tampaknya. Beliau mulai memanggil satu persatu peserta wawancara. Seorang Pria bertubuh tinggi, berambut pirang menjadi yang pertama dipanggil. Ketegangan mulai mengusik Edy, “tidak sabar rasanya bertemu idolanya”. 30 menit berlalu, namun tanda-tanda namanya akan dipanggil belum juga terlihat. Edy mulai gelisah. Akhirnya namanya menggema dalam heningnya ketegangan.
“Edy Pramono Subianto”.Indonesia”. Edy bangkit dari duduk dan berjalan menuju ruang Profesor.
“Detik-detik yang menentukan, Saya sudah siap jika di tanya teori relatifitas, motivasi mendapat beasiswa, apa saja prestasi yang sudah saya capai, saya akan menjual diri saya”.
“silahkanduduk”. Edy dipersilahkan duduk, idolanya tampak kaku di atas kursi roda. Tubuhnya yang tidak berdaya berkebalikan dengan otaknya yang luar biasa. Wajah yang biasa dia lihat dibuku biografi kini nyata dihadapanya.
“Silahkan jelaskan diri Anda”. Sang profesor mempersilahkan sambil membuka-buka map file-file Edy.
Dengan bahasa inggris yang faseh, Edy mendeskripsikan dengan cepat, semua prestasi-prestasinya, kecemerlangan otaknya, pengalaman-pengalaman menuntun ilmu di Eropa. Semua dijelaskan dengan penuh keyakinan dan tanpa ada yang tertinggal.
“Cukup..itu semua saya sudah tahu Edy. Karena prestasi-prestasi itulah kamu mendapat undangan ini”. Profesor menghentikan Edy.
“Jelaskan kenapa Saya harus menerima Anda”.
“Jelaskan apa yang akan Anda lakukan di masa depan”.
“ Dan jelaskan seperti apa Bangsa dan Negara mu Nak?.Apa yang akan kamu lakukan untuk Bangsamu?”.
Pertanyaan ini sontak membuat Edy diam seribu bahasa. Dia jelas tidak mengenal bangsanya sendiri, apa yang akan dilakukan pada bangsanya di masa depan. Cita-citanya bukan untuk bangsanya sendiri, Eropalah mimpinya, belajar diEropa, kemudian hidup di Eropa. Tetapi dia ditanya tentang Indonesia?.
“Apa yang akan Saya jawab...”. Hampir satu menit Edy diam.
“Saya tidak tahu Prof., yang saya tahu masa depan saya adalahEropa”. Jawab Edy.
Profesor hanya tersenyum, menganggukan kepala.
“Anda benar-benar tidak tahu tentang Indonesia?”.Profesor menanyakan. “Bukankah Indonesia itu adalah paru-paru dunia. BukankahBudaya Bali itu eksotik, lalu Papua, Borobudur yang termashur. Bahkan saya tahu tentang cerita kerajaan Majapahit yang melegenda Itu”. “saya ingin tahu yang lainya juga”. Bisakah Anda menjelaskan?”. Profesor menanyakan..
Edy hanya bisa termenung malu. Selama ini dia telah lupa akan bangsanya. Bangsa yang besar.
“Harusnya Saya banggadimana Saya dilahirkan”.Edy berteriak dalam hati kecilnya.
“Kita akan menjadi terhormat ketika kita tahu tentang asal-usul kita”. Cintailah dan banggalah dengan bangsamu, karena bangsamu itu bangsa besar”.
“Ok. Terimakasih”. Profesor mempersilahkan Edy keluar.
Suara asisten Profesor memanggil peserta selanjutnya dengan bahasa Prancis. Suara lain tidak lagi dihiraukan. Dengan wajah malu, Edy mengucapkan “Terimakasih”. Lalu Dia meninggalkan ruangan dengan rasa malu luar biasa.
Hatinya tersentuh, hatinya menangis, dia berjanji pada diri dan bangsanyaakan mengabdikan segenap kemampuanya untuk Indonesia yang selama ini dia tinggalkan.
Rasa rindu Tanah Air tiba-tiba menghegemoni perasaanya. Tidak sabar rasanya kembali dan Mencium wanginya tanah Nusantara.
20 tahun kemudian
Setelah 20 tahun kejadian itu, banyak pelajaran dan pengalaman yang Edy Pramono Subianto dapat. Semakin dia mengenal Indonesia, semakin dia tahu besarnya nusantara. Begitu banyak yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Budaya, tradisi, kultur ketimuran, tanah, air dan udara tropis kita. Memang masih banyak kekacauan dimana-mana. Oknum pemerintah yang masih hobi korup, kekerasan ras dan agama yang akhir-akhir ini menjadi buming di media. Semuanya adalah proses menuju negara yang lebih baik. Semakin banyak cobaan dan masalah yang datang, semakin kuat pada waktunya”.Ingat!,Barat tidak selalu hebat, tapi pasti Indonesia itu hebat”. Sekarang Edy sadar semua hal itu. Untuk menunjukan rasa cinta Tanah Airnya dia lakukan apapun. Dengan gelar PhD Edy bisa bekerja di luar negeri seperti cita-citanya. Tapi Edy ingin mengabdikan diri untuk negerinya, negeri yang dulu pernah dia lupakan. Edy benar benar mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar di wilayah-wilayah terpencil. Berpindah dari satu daerah ke daerah terpencil lainya. Edy mencintai pekerjaanya, meskipun ibu satu-satunya awalnya tidak setuju.
Sementara Parni kini menjadi Aktivis Budaya. Mempromosikan Budaya Indonesia ke dunia. Kerjaanya hanya terbang dari satu negara ke negara lain untuk MENGGAUNGKAN nama Indonesia. Sudah lebih dari 50 negara yang dia kunjungi. Dia selalu mendapat apresiasi ketika mempresentasikan budaya dan sejarah bangsa. Banyak penghargaan yang telah didapat, baik dari dalam negeri ataupun luar negeri. Tapi penghargaan yang paling besar baginya adalah berguna bagi Tumpah Darah Indonesia.
Tamat
Tokoh, Tempat dan Cerita Hanya Fiktif Belaka, maaf jika terjadi kesamaan tokoh, tempat dan cerita .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H