Aku merasa ada hal yang berubah sejak komunikasi ini terus bergulir. Ada rasa butuh yang muncul. Butuh bicara, butuh berkabar, butuh tahu semua tentang Ali. Semua orang akan bilang ini lumrah. Ya, lumrah namun salah.
*
Â
Pertemuan Kedua
"Aku mau kumpul sama teman-teman kantor di dekat kantormu, nih. Mau gabung nggak?"
Sebuah pesan singkat dari Ali. Pasti sudah bisa diduga, bagaimana reaksiku, bukan? Jelaslah aku mau menerima tawarannya. Bahkan aku tak memikirkan lagi bagaimana kesan teman-teman kantornya yang mendapati aku datang memenuhi undangan pria beristri itu.
Suasana caf itu cukup cozy, letaknya di sebuah rooftop. Kebetulan malam itu selepas hujan dan pelan-pelan bintang mulai bertaburan. Sempurna!
Berkumpul bersama teman-teman pria bukan hal aneh bagiku. Cara mereka berinteraksi selalu memunculkan tawa. Hal itu pula yang kutangkap di malam itu. Aku bisa ikut tertawa mendengar celoteh Ali dan rekan-rekan kerjanya walaupun terkadang aku tak mengerti apa yang tengah mereka bahas.
Waktu seakan bergulir terlalu cepat, satu per satu dari mereka pun pulang. Tinggal aku dan Ali berdua saja. Sepertinya pria berhidung bangir itu memang menunggu momen ini untuk bisa menceritakan banyak hal padaku.
"Dit, aku mau cerita."
"Nggak boleh!" ledekku.