Kemunculan berita ini kemudian menjadi perhatian saya juga sejumlah warganet yang selama ini diam saja dengan perlakuan oknum timses dengan upaya pemenangan wakil mereka. Namun menjadi hal yang mengejutkan ketika warga menolak perlakuan tersebut malah diancam akan dipidanakan.
Tagline "Pesta Demokrasi" nampaknya bertentangan dengan sikap oknum timses yang tak bisa menerima penolakan.
Jelang Pemilu memang kerap ditemukan pelanggaran-pelanggaran selama musim kampanye. Jika bukan calegnya ya timsesnya. Hal ini seakan sudah menjadi rahasia umum di negeri ini.
Padahal pemilu adalah ujung tombak dalam menetapkan pemimpin negeri yang diharapkan bisa bersikap jujur, adil, dan taat pada undang-undang yang berlaku.
Lantas, bagaimana jika dalam memulainya saja banyak ditemukan pelanggaran?
Di Indonesia terkenal gimmick "Peraturan dibuat untuk dilanggar". Hal itu bukan sekadar gimmick, memang ada pihak yang dengan sengaja melanggar aturan karena hukum yang belum benar-benar ditegakkan untuk para pelanggar.
Hal ini jelas memicu rasa tak ingin patuh sejumlah oknum yang seakan mengabaikan hukum yang akan dikenakan.
Setelah mencermati permasalahan yang dialami konten kreator bernama Agos tersebut, apa yang ia lakukan dalam video yang memuat aksinya mencopot APK kampanye berupa stiker di rumahnya memang bisa dipidanakan.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu, Pasal 280 Ayat 1 huruf g yang berbunyi "Pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu". (sumber)
Apalagi aksi tersebut direkam dan diunggah ke media sosial. Walaupun rumah tersebut miliknya pribadi namun alangkah lebih bijaknya jika yang bersangkutan langsung melaporkan ketidaknyamanannya secara langsung pada pihak timses.
Sedangkan untuk timsesnya sendiri juga bisa dianggap melakukan pelanggaran, namun yang berhak menegur dan melaporkan adalah tim KPU dan Bawaslu.
Sejumlah tempat yang tidak boleh dipasang APK adalah, fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.