"Aku capek makan buah bit, madu kurma juga sudah setiap hari. Kayaknya memang harus merepotkan para pendonor lagi,"
Suster Nina menepuk lembut bahuku dan aku tahu, ia tengah menguatkan tanpa kata-kata. Perempuan yang sejak tahun lalu ku ketahui usianya baru 27 tahun itu yang paling asik diajak cerita. Ia baru memiliki 1 anak, tapi aku lupa siapa namanya. Yang pasti kelak sang anak harus tahu, bahwa ibunya adalah suster yang menyenangkan dan bisa menghibur pasien-pasiennya walaupun sekadar pasien BPJS.
*
Operasi dijadwalkan pukul 6 besok sore. Malam ini tubuh berbobot 45kg ini sudah siap menerima transfusi darah. Entah siapa-siapa saja pemilik darah-darah itu, namun bagiku, mereka adalah malaikat. Bayangkan, mereka tak perlu mengenal siapa yang akan mereka bantu, tapi mereka dengan ikhlas mau hidup sehat dan mendonorkan darahnya untuk pasien-pasien sepertiku.Â
Selalu doaku untuk para pendonor di dunia, tetap sehat dan berjiwa malaikat.
Sebagai warga kelas 2, jelas aku harus berbagi kamar dengan pasien lain. Ada 3 ranjang dalam ruangan ini, Namun 1 ranjang pasiennya sudah pulang pagi tadi. Tinggal aku dan seorang pasien yang berseberangan denganku. Pasien ini terlihat lebih muda, sejak datang wajahnya murung, pun ibu yang menemaninya. Mungkin ini kali pertama gadis itu dirawat di rumah sakit, sehingga masih banyak kekhawatiran pada mereka.
Sambil menikmati proses transfusi darah, aku coba menyapa ibu dan anak itu.
"Sakit apa, Dek?"
"Ada benjolan di payudara, Mbak," jawab si ibu mewakili anaknya.