Pukul 01.30 layar leptop terus menyinyari wajahku. Kedua bola mataku tidak berkedip menatap kata-kata yang terjabar dalam paragraf. Lobus oksipital (bagian otak yang bertugas mengendalikan fungsi pengelihatan) kadang sesekali memberi sinyal akan ketidakmampuannya begadang sampai larut. Namun jengkelnya, Â lobus frontal (bagian otak untuk mengendalikan proses berpikir) tidak mau kompromi. Ia terus mendesakku agar semua fail yang masuk segera kutelaah. Padahal, saya bukan penyunting. Â Â Â
Melelahkan sekali. Menemukan titik temu antarparagraf yang pokok pikirannya lompat-lompat ibarat memasukan benang ke lubang jarum di bawah sinar rembulan. Ingin untuk dilepas tetapi justru itu menghambat upaya memahami pikiran seseorang saat diterjemahkan dalam sebuah tulisan. Apalagi tulisan itu datang dari komunitas sendiri yang karakteristik antaranggota sudah seperti suami dan istri. Â Â
Kehabisan Kata-kata
Suasana kepenatan ruang lobus frontal tersebut kuceritakan kepada teman-teman di sekolah. Senyum sipu untuk mengatakan saya termasuk penyumbang keadaan tersebut sangat jelas tergambar di wajah mereka. Sejenak saya berseloroh akan nikmatnya menulis. Keriuhan semakin menjadi-jadi ketika semua guru nimbrung. Ada yang ketus mengatakan pokok masalahnya. Ada juga yang secara bagus menguraikan kesulitan yang dihadapinya. Tidak ada rasa sungkan untuk kami bercerita tentang apa yang sedang kami alami.
Di tengah gurauan itu, seorang guru bersuara cukup serius. Ia mulai mengatakan masalahnya dengan sederhana dan coba menguasai situasi tawa yang tak terkontrol dengan keheningan. Ini yang dia katakan: "Saya kehabisan kata-kata".
Sebagian di antara kami tertawa mendengar pengakuan polos itu. Sebagiannya lagi mengamini apa yang dia katakan. Tawa yang tak menampakan gigi pun menjadi petunjuk bahwa 'saya juga seperti itu'.Â
Imajinasi saya kian berkelana. Syair tak berirama  "benarkah kata-kata bisa habis" menghantar saya ke ruang kerjaku. Tanpa meneguk air hangat yang selalu kubawa, kursi plastik merah napolly kududuki. Jari dari kedua tanganku, kusimpul rapat sebagai penopang kepala. Kujejaki kembali semua lintasan yang pernah kulewati dalam ruang menulis.
"Benar. Benar kata-kata itu."
Histeria senyap mengguntur. Ikatan jari tanganku refleks kulepas. Tuts leptop kuutak-atik kembali. Ada tulisan yang tercecer kutemukan. Ia belum terbentuk sebagai sebuah paragraf apalagi menemukan pesan yang mau disampaikan. "Masa silam yang sangat tidak romantis", kesalku.
Kini kusadari, putaran pita kaset yang kusut di masa lalu itu ternyata tidak membawa kalungan bunga tanda kematian imajinasi dan hasrat saya untuk menulis dan menulis. Ia justru membawa saya ke ruang yang penuh kilauan cahaya emas dari ide-ide yang kutuangkan dalam tulisan.