MONOLOG KARTINI
Kartini! Sosok perempuan polos dan sederhana, memakai kebaya halus dan jarik batik, simbol adat di tanah Jawa. Panggil saya Kartini saja! Putri dari seorang bupati Jepara bernama Raden Mas Aryo Sosroningrat. Mayong Jepara, 21 April 1879 menjadi saksi lahirnya si jabang bayi ke dunia, dengan mata bulat pepat dan rambut hitam yang cukup tebal. Begitulah Ayahanhandaku sering mengutarakannya. Ibu saya bernama Ngasirah, Beliau hanya seorang rakyat pri-bumi biasa, putri dari seorang mandor pabrik gula di Mayong. Saya adalah putri ke-V dari sebelas bersaudara dengan ibu yang berbeda. Jauh sebelum saya dilahirkan, kakakku kandung Sosrokartono telah lebih dahulu lahir dengan ibu yang sama, dan 9 saudaraku yang lain, temasuk Rukmini dan Kardinah lahir dari keturunan Ibu berbeda. Singkatnya, Ayahandaku mempersunting kembali seorang perempuan dari keturunan bangsawan. Saya, kalian, dan mereka pastilah bisa membayangkan, perasaan hati seorang perempuan yang telah demikian. Hehhh…tetapi adat di tanah Jawa hal itu sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi orang-orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada mereka. Mempunyai pelayan atau selir sebagai penghibur setiap waktu.
Tuan dan Nyonya sekalian pun tahu, tidaklah mudah bagi seorang perempuan menerima deskriminasi itu. Bagi kami, perempuan di tanah Jawa adalah simbol kepribadian yang santun. Bagaimana tidak? Gadis Jawa itu laksana sebutir permata, pendiam tak bergerak seperti boneka;bicara hanya benar-benar perlu;berjalan sedepak demi sedepak seperti siput;sungguh nian buruk jika giginya Nampak;seperti luwak. Namun, bagi Kartini kecil, belumlah saatnya hal itu untuk dimengerti atau pula tahu. Sejak kehadiran sang Ibu lain, ibu Ngasirah telah lama tidak serumah di pendapa utama. Beliau tinggal di rumah sebelah pendapa bersama para emban dan abdi dalem. Trinil begitulah panggilan semasa kecil. Saya masih benar-benar ingat waktu itu, seringkali saya bercanda dengan Mbok Rami dan Ibu Ngasirah ketika usai belajar di pendapa. Lalu, pasti Beliau berkata, “Nil, kamu sudah izin sama Romo kalau kesini?” kamu sudah selesai belajar bukan? Tatapnya sangat tajam, dengan raut yang menyimpan kasih kepada putrinya. Kalau sudah demikian, aku akan menjawab dengan begitu singkat, “sudah mbok, simbok sudah makan?” betapa dalamnya hati seorang Ibu terhadap buah hatinya.
Stella sahabatku, beberapa saat lagi saya akan resmi belajar di sekolahan rendahan Hindia-Belanda di Jepara. Saya akan mendapatkan teman dan suasana baru. Dengan cita-citaku ingin meneruskan ke Eropa, mungkin semakin tebuka luas dan yang pasti izin dari Ayahanda itu yang utama. Akan saya kabarkan selanjutnya tentang segala hal di tanah Jepara yang permai dan penuh sederhana.
Di sekolahan saya sangat senang. Temanku sebangku bernama Letcy. Seorang gadis Eropa yang tinggal di Jepara karena ayahnya mendapat tugas di Hindia-Belanda. Sejak saat itu, babak baru akan segera dimulai. Kartini kecil mulai menampakkan kecerdasan dan kritis dalam berpikir. Hingga suatu siang ketika istirahat Letcy bertanya, “Ni, besok jika sudah tamat dari sini, kamu harus melanjutkan ke Eropa, disana kamu akan mendapatkan pendidikan yang lebih cakap” kelak kau mau jadi apa,Ni? Pertanyaan itu membuatku tertegun dan tak mampu menjawabnya. Hingga perjalanan pulang dan sampai di rumah saya masih saja memikirkannya.
Stella, sahabatku, malam ini selepas magrib kami sekeluarga akan berkumpul di ruang tamu pendopo. Kalau sedang seperti ini, saya pasti duduk paling kanan samping depan, disini kakaku, disusul Rukmini, dan Kardinah tepat disampingku, selanjutnya adikku yang paling kecil Sumantri dan lainnya. Saya duduk dengan membungkukkan dada dan tidak berbicara selagi tidak ditanya oleh Romo. Begitulah adat kami, penuh dengan kesantunan, hingga tidak heran mereka kaum Eropa dan Belanda sering mampir ke Jepara bertemu Ayahandaku. Beberapa saat kemudian, saya menanyakan kepada Ayahku pertanyaan Letcy tadi siang, “Nil, kalau perempuan, besok ya harus jadi Raden Ayu, dan menunggu seorang laki-laki yang akan mempersuntingmu menjadi istri” Saya hanya terdiam, dan tidak melanjutkan pembicaraan. Betapa hati ini terpukul Stella, darah ini seperti mendidih dan memancar ke segala arah. Dan sepertinya, cita-cita untuk belajar ke Eropa akan semakin kecil bahkan tidak akan terjadi samasekali.
Inilah saatnya seorang gadis kecil berusia 12 tahun harus menjalani masa pingitan di dalam kamar yang sunyi dan memedihkan. Ketika itu, saya berjalan dengan pelan memasuki kamar pingitan, saya diantar oleh Ayahanda dan beberapa adikku. Kubuka dengan perlahan dengan suara lirih daun pintu itu, kemudian perlahan tertutup dengan rapat. Dan inilah babak idealisme seorang Kartini benar-benar terbakar. Setiap pena yang digoreskan, menjadi alat dan media utama dalam berkomunikasi dengan sahabatnya di Eropa dan Belanda. Tuan Abendanon salahsatu rekanan Ayahandaku dan menjadi sahabat pena saya. Nyonya Ovink dan Nyonya Andrian Beliau adalah figure ibu yang penuh kasih dan sederhana. Pena itu seakan-akan air yang tidak pernah mengering sekalipun kemarau tetap mengalir. Tuan Abendanon, inilah adat di tanah Jepara dari seorang gadis polos yang mencoba membebaskan dari segala deskriminasi, tentang keadaan rakyat Jepara, dan pendidikan putra-putri yang masih perlu dididik dan diperhatikan.
Kami disini memohon diusahakan pendidikan bagi anak perempuan,bukan sekali-kali kami ingin menjadi saingan kaum laki-laki, tapi karena kami yakin akan besar pengaruhnya bagi kaum wanita, agar lebih cakap dalam melakukannya.
Senja itu Letcy datang seakan membawa dunia segar bagi saya. Saya seperti kembali ke masa itu. letcy bertanya, “Ni, maukah kau ikut denganku ke Eropa, Ayolah Ni, bukankah itu jadi cita-citamu?” saya hanya dapat menangis mendengarnya. “Letcy, jangan Tanya saya apa yang saya mau, tetapi tanyalah apa yang saya boleh”
Sungguh indah senja di tanah Jepara. Jika ada waktu senggang, kami selalu menikmati deburan ombak dan warna jingga keeemasan di bibir pantai Kartini. Ayahandaku banyak menceritakan kepada saya tentang kehidupan, tentang belajar kuat dan tidak putus asa. Dan saya tidak bayangkan, jika suatu hari saya telah disunting oleh seorang laki-laki, saya akan berpisah dengan Ayahandaku dari Jepara. 4 tahun Kartini kecil didalam pingitan. Surat-surat dan karangannya, telah banyak diterbitkan di majalah sampai ke negeri Holland. Beberapa saat ketika saya akan terbebas dari masa pingitan, Ayahandaku sering mengajakku hadir dalam tugasnya, memberi keterampilan melukis, membatik, dan tentang obat-obatan. Adikku, Rukmini dan Kardinah selalu bersama. Kami adalah 3 serangkai. Saya sudah mulai mengajar dan mendidik anak-anak pribumi di teras pendapa. Mereka tampak bersemangat dalam belajar. Sedangkan adikku Rukmini dan Kardinah, mereka belajar ilmu kedokteran seperti cita-citanya. Hingga pada akhirnya, datang seorang laki-laki mempersunting saya, yang sebelumnya tidak pernah saya tahu asal-usulnya. Begitulah adat kami. Duhai stella, pendapa Jepara sore ini cukup ramai. Seluruh keluarga dan abdi dalem berkumpul menyaksikan perkawinan saya. Sederhana dan tidak ada pesta besar seperti halnya anak bagsawan lainnya. Saya hanyalah Kartini seperti juga rakyat pribumi. Seperti halnya gadis-gadis Jawa lainnya.
Tuan dan Nyonya sekalian, suami saya bernama Raden Mas Jojohadiningrat seorang bupati Rembang. Beliau santun dan cukup menghargai seorang perempuan. sejak saya pindah ke Rembang, saya mulai dibangunkan gedung sebagai tempat belajar dan mendidik anak-anak pribumi. Tepatnya,di sebelah depan pendapa Rembang di bagian kanan. Saya beri nama, Sekolah Kartini. Berjalannya sang waktu, kehamilanku semakin besar. Suamiku selalu menemani dan merawat sampai proses persalinan kala itu. Kondisi Kartini waktu itu tidak begitu baik. banyak pendarahan selama persalinan, badannya sering lemas dan tidak stabil. Hingga pada akhirnya, 4 hari setelah kelahiran putranya, Kartini meninggal dunia. Putranya bernama Susoalit. Duka mendalam oleh suaminya dengan arakan rakyat Rembang dan Jepara berlimbah kehilangan seorang perempuan yang polos dan gigih sederhana.
ooo0ooo
“dan kemenangan yang seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang boleh direbut manusia ialah menundukkan diri sendiri. Janganlah berputus asa dan janganlah menyesali untung. Janganlah hilang kepercayaan hidup. Kesengsaraan itu membawa nikmat. tidak ada yang berlawanan dengan rasa kasih. Yang hari ini serasa kutuk,besoknya terasa rahmat. Cobaan itu adalah usaha pendidikan Tuhan.”
Saya bangga, namaku disebut senafas dengan rakyatku. Karena disanalah tempatku untuk seterusnya.
- Toat Kurniawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H