Baru saja usai Pilkada di SULUT dan menyisakan beberapa hal yang bisa menjadi masukan dan pertimbangan untuk gereja GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) ke depannya. Sebagai orang Minahasa yang pernah berjemaat di GMIM, sangat menyayangkan hal-hal yang dilakukan petinggi GMIM terkait Pilkada Gubernur 2015. Saya yakin-seyakin-nya bahwa masih banyak hamba Tuhan GMIM dan anggota gereja yang berpikir kritis dan tidak menyetujui kebijakan petingginya ini. Contohnya:
Pertama, petinggi GMIM tegaskan netral dan tidak mendukung calon-calon Gubernur secara ekslusif tapi toh akhirnya mendukung juga. (http://www.fokusmanado.com/2015/09/sinode-gmim-tegaskan-netral-dalam.html).  Ketua Sinode, Pendeta Sumakul mengatakan sikap GMIM dalam pilkada tidak akan memprioritaskan siapa kader GMIM tertentu, biarlah semua berproses secara alamiah. Betul, tapi sebagian. Dalam pengutusan awal kandidat gubernur dari GMIM, ada kandidat dan pasangannya tidak hadir. Saya pikir ini, humble sekali. Ternyata, dia dan pasangannya menerima pengutusan dalam event yang lebih besar yaitu HUT GMIM Bersinode yang dihadiri ribuan orang. Orang bodoh saja bisa tahu perbedaannya, yang lain diteguhkan dalam gereja yang kecil sedangkan yang satu ini kok diteguhkan dalam event akbar. Sangat berbeda apa yang disampaikan dan apa yang terjadi kemudian di lapangan.Â
Kedua, GMIM antara terpaksa dan mendukung penuh karena sudah tersandera atau terjebak untuk balas budi. Dalam dunia Timur, budaya seperti ini kuat sekali. Dianggap tidak baik atau tidak elok kalau sudah dibantu oleh si pemberi lalu si penerima tidak melakukan sesuatu. Nah, ternyata ada kandidat yang bermurah hati dan getol mengucurkan bantuan untuk gereja GMIM. Bantuan yang telah diberikan ini tak terelakan akan mempengaruhi pimpinan Gereja GMIM atau jemaat untuk ‘membalas budi’ pemberian dari sang pemberi ini. Dengan kata lain, GMIM sudah tersandera atau terjebak oleh bantuan yang diberikan dan konsekuensinya adalah, yah sebagai timbal balik atau apalah namanya harus merespon. Ibaratnya, you knowlah kalau saat Pilkada nanti harus mencoblos siapa!. Konsekuensinya lagi, melalui mimbar, dukungan disampaikan kepada jemaat dengan bahasa-bahasa yang implisit yang mengarahkan jemaat untuk memilih kandidat apalagi sudah diutus secara ekslusif oleh petinggi Sinode. Dan sebagai bawahan yang patuh tentunya akan mensosialisasikan hal ini kepada jemaatnya (Cilaka tiga belas). Tapi bersyukurlah masih ada hamba Tuhan yang berhikmat dan tidak mau mempengaruhi jemaatnya atau mimbar gereja ditunggangi oleh kepentingan politis.
Ketiga, dengan terang-terangan mendoakan (doa politik?) sosok tertentu secara khusus untuk jadi Gubernur maka petinggi GMIM nampaknya membuat doa mereka terjawab sendiri yaitu menobatkan beliau untuk menjadi Gubernur. Mengapa bisa demikian? GMIM memiliki kekuatan jumlah anggota jemaat dalam jumlah besar yaitu sebanyak 1 juta orang (Wikipedia 2016) dan dengan jumlah massa yang sedemikian maka suara dari GMIM sangatlah signifikan alias berpengaruh. Ini jelas mengungguli gereja dan jemaat yang mendoakan Foke dan berikutnya Prabowo di Jakarta. Ingat, kan ada sekumpulan hamba Tuhan dan gereja secara masif mendoakan bahkan menubuatkan Foke untuk menjadi gubernur dan belakangan Prabowo untuk menjadi Presiden tapi nyatanya doanya tidak terjawab. GMIM dengan massa yang besar dan ini menjadi keunggulan besar untuk menggalang doa dan suara guna memilih calon yang direstui oleh petinggi gereja. Akhirnya doa politik mereka otomatis terjawab alias bahasa rohaninya tergenapi. Ya iyalah wong punya massa atau anggota jemaat yang banyak. Nah, lagi-lagi kembali kepada siklus yang diatas. Sudah didoakan dan didukung, berhasil jadi Gubernur, you knowlah harus ada ucapan syukur dalam berbagai bentuk. Arahnya atau cycle-nya sudah bisa ditebak.
Keempat, GMIM seakan menunjukkan suatu pengaruh atau otoritas untuk saat ini secara ekslusif mendukung  salah satu calon dan hal itu bisa dibaca sebagai kebijakan ‘politik’ GMIM. Ini sangat berbahaya dan mengadu domba jemaat dan mengancam kesatuan warga SULUT. Bagaimana dengan calon-calon lainnya yang juga dari GMIM tapi ternyata GMIM (baca: petinggi GMIM) tidak memberikan restu secara full atau maksimal? Kenapa ada perbedaan pengutusan dengan kandidat lainnya? Bagaimana bila ada calon dari gereja atau denominasi lain yang lebih berintegritas, punya kapasitas, karakter dan potensi memimpin SULUT tapi karena alasan denominasi akhirnya dianggap sebagai pemimpin yang tidak layak memimpin SULUT?  Setahu saya, dulu ada pemimpin SULUT bukan dari GMIM tapi gereja yang bersangkutan atau asal Gereja beliau yang jadi gubernur itu tidak sampai bergerak agresif seperti GMIM dalam mempromosikan calonnya ini. Apakah GMIM sudah menunggu sekian lama momentum ini dan begitu mendapat kesempatan langsung aji mumpung dan agresif menunjukkan dukungannya? Ini semangat yang tidak sehat. Sangat jauh dari semangat orang Minahasa, spirit Si Tou Timou Tumou Tou jauh sekali dalam hal ini.Â
Kelima, jika GMIM berbuat seperti ini, apa bedanya dengan FPI?. FPI menggunakan kekuatan agama, tokoh pemimpinnya serta massa untuk ‘memaksa’ melakukan kebijakan yang dianggapnya benar. GMIM jelas Kristiani tapi jika model-modelnya seperti ini,  menggunakan massa atau anggota jemaat, melibatkan pemimpin umat serta power atau kekuatannya dalam pentas politik demi untuk mencapai tujuan maka apa bedanya dengan FPI? Dan dari kacamata mereka, akan  melihat, toh apa bedanya institusi gereja dengan mereka, sami mawon alias sama saja. Miris. Sama-sama menggunakan jubah agama untuk mencapai tujuannya. Mungkin perbedaannya adalah caranya lebih elegan, lebih halus, tapi apapun itu maka akan membuat nama GMIM dan Kekristenan menjadi tertawaan publik (dunia) dan ini tidak menjadi kesaksian. Â
KESIMPULAN:
GMIM seharusnya belajar dari Gereja GKY (Gereja Kristus Yesus) Jakarta tempat Ahok bergereja. Gereja GKY dan petingginya tidak pernah membuat promosi atau pengutusan atau himbauan atau apalah terkait dengan Ahok saat pencalonan dia sebagai wakil gubernur atau gubernur. Kalau mereka mau, sebenarnya bisa tapi mereka MEMILIH TIDAK melakukannya. Maka bila dicari di media (internet) maka tidak akan ditemukan adanya doa pengutusan atau gereja mendoakan secara khusus Ahok untuk menjadi gubernur. GKY juga tidak pernah berkoar-koar di media ketika Ahok terpilih bahwa Ahok adalah anggota gerejanya lalu mengadakan kebaktian syukur atau seremonial atau apalah. Makanya banyak orang tidak tahu kalau Ahok itu bergereja di GKY.Â
Para kandidat Gubernur SULUT, belajarlah dari Ahok untuk tidak  memanfaatkan gereja (GKY) sebagai tempat berpolitik. Ahok tidak pernah mempromosikan dirinya dalam pengertian berkampanye atau menggalang massa anggota gereja sepanjang proses pencalonannya sebagai pejabat pada waktu lalu. Ahok kendati pasti membutuhkan suara atau dukungan dari komunitas Kristen di Jakarta tapi beliau secara elegan tidak pernah mengemis-ngemis untuk minta didoakan atau minta pengurapan atau nubuatan serta masuk keluar gereja untuk menarik massa supaya memilihnya sebagai pemimpin di Jakarta.Â
Belajarlah dari Ahok, saat maju sebagai pemimpin dia tidak membagi-bagikan uang tetapi menunjukkan integritasnya sebagai pemimpin yang bersih, tegas, cakap dan bisa diandalkan. Coba cari di media ketika dia maju dalam pencalonannya apakah  dia mengumbar bantuan-bantuan dalam bentuk sumbangan dan sebagainya. Justru dia paling anti melakukan itu. Yang dia lakukan adalah bagi-bagi nomor hpnya.  Ahok mungkin mengimani ayat dalami 1 Samuel 14:6 "Mungkin TUHAN akan bertindak untuk kita, sebab bagi TUHAN tidak sukar untuk menolong, baik dengan banyak orang maupun dengan sedikit orang".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H