Kala itu senja menemani perjalanan ransel ini menuju kota kelahiran. Sekeliling terlihat sibuk menata diri dengan berbagai barang bawaan mereka. Beberapa detik kemudian kedua bola mata ini bergerak mengikuti rel yang berjalan menjauh. Lalu hati ini mengalihkan perhatian dan perlahan mulai merenungi sesuatu. Ketenangan yang hakiki memang benar hanya ada ketika mulut dan hati kita selalu mengingat Sang Pencipta. Ketenangan itu hadir secara perlahan, dan memenuhi ruang-ruang kosong dalam diri. Tak ada lagi ruang untuk harta, kemewahan, kedudukan, kecantikan, atau hal duniawi lainnya. Mereka semua tiba-tiba pergi entah kemana. Tak ada sedikitpun rasa kehilangan atau penyesalan atas kepergian mereka. Pandangan akan segala sesuatu berubah menjadi sangat sederhana. Standarnya menjadi sangat mudah dan indah. Cukup itu sesuai dengan ridho Allah, pasti hati menerima. Alasan-alasan sampingan lainnya tak pernah bisa mengganggu segala keputusan yang hadir secara alami itu. Hati tak pernah lagi memberontak dan berapi-api jika keputusan itu dinilai rendah oleh mata manusia lain. Aku adalah milikNya. Keyakinan bahwa jiwa ini akan segera kembali kepada pemiliknya membawa langkah kakiku tak lagi berat. Bahkan sandal jepit tahunan ini pun masih terlihat kokoh menemani perjalanan kakiku. Senyuman yang hadir dari hati selalu menghiasi wajah. Ketika ada hal buruk yang menimpa, hati selalu menerima dengan penuh keikhlasan. Ini semua pasti sudah menjadi skenario terbaik dari Allah untuk hambanya.
Huh, tak terasa satu jam sudah ransel ini bergerak ke tempat peraduan.Sepi? Ah, tidak juga. Di setiap perjalananku tak ada kata sepi. Allah sudah mempersiapkan berbagai pelajaran di setiap episode perjalanan hambanya. Tapi memang diusiaku sekarang harusnya sudah ada partner yang bisa diajak ‘nimbrung’ dalam diskusi kecil ini. Yah, itu bagian dari skenarioNya, yang sampai kapanpun akan saya imani. Sepi itu kalau hati kosong, jauh dari mengingat Allah. Sepi itu orang yang terlalu sibuk dengan dunianya tapi lalai dengan akhiratnya. Jangan sampai akhirat yang kekal dengan mudahnya kita tukar dengan dunia yang fana. Loh, tapi harus imbang antara dunia dan akhirat kan? Iya betul, maksudnya dalam mengejar dunia pun juga harus tetap orientasinya sebagai jalan menuai pahala untuk akhirat nanti.
Terlalu asyik mengobrol dengan hati sore ini sampai lupa bahwa stasiun kecil kotaku sudah terlihat. Motor biru abu-abu dengan pengendaranya sudah datang, melambaikan tangan di seberang jalan. Alhamdulillah, banyak pelajaran pekan ini, dan waktunya untuk birrul walidain......
Pembawa Ransel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H