Sejak reformasi telah ada tiga Walikota Medan yang tersandung kasus korupsi. Dua walikota sebelumnya telah menjadi terdakwa dan menjalani masa kurungan. Sementara yang terbaru masih berstatus sebagai terperiksa. Fenomena tersebut memunculkan paradoks mengenai upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan upaya reformasi birokrasi.
Proses penyidikan Dzulmi Eldin masih berlangsung dengan status terperiksa. Akan tetapi bukan tidak mungkin ia akan berakhir sama seperti para pendahulunya.Â
Di satu sisi penangkapan tersebut seakan mengamini citra Sumatera Utara yang sering diplesetkan menjadi Semua Urusan Memerlukan Uang Tunai. Berbagai kasus korupsi yang menyandera pimpinan di Sumatera Utara seakan menguatkan label provinsi korup.
Di sisi lain adanya OTT tersebut mencerminkan kegagalan reformasi birokrasi dan upaya mitigasi KPK yang tidak maksimal. Semestinya sistem yang transparan dan senantiasa terawasi tidak memiliki celah dilakukannya tindak pidana korupsi.Â
Terlebih Sumatera Utara memiliki historis panjang terkait kasus korupsi yang harus diakhiri. Sehingga wajar apabila saya mempertanyakan perkembangan reformasi birokrasi bahkan semangat revolusi mental yang tidak diserap para pimpinan tersebut.
Saya sebagai masyarakat Sumatera Utara tentu berharap tidak ada lagi ruang tindak pidana korupsi bagi pejabat tinggi di Sumatera Utara. Tentu memalukan apabila sumatera utara terus-terusan menjadi provinsi pencetak koruptor. Pemerintah pusat mesti serius melakukan upaya pencegahan dan pengawasan berkala, bukan hanya penangkapan melalui KPK saja.
OTT, Bumerang bagi KPK?
Masyarakat saat ini dengan beragam cara membela mati-matian pelemahan terhadap KPK. Bahkan beberapa nyawa mesti hilang dalam perjuangan aksi massa menyelamatkan KPK.
Tinggal menghitung hari menjelang Revisi UU KPK efektif dilaksanakan. Tentu KPK harus berbenah diri untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa Lembaga anti-rasuah tersebut memang layak untuk dibela. Akan tetapi apakah peningkatan intensitas penangkapan merupakan jawaban atas keresahan masyarakat?
Saya beranggapan peningkatan intensitas penangkapan oleh KPK beberapa waktu terakhir dapat menjadi bumerang bagi KPK.Â
Saya memiliki beberapa alasan di antaranya:Â
(1) Setiap penangkapan oleh KPK mengandung risiko tinggi, artinya apabila di kemudian hari ternyata KPK gagal melakukan pembuktian tindak pidana korupsi tersebut tentu akan menjadi catatan buruk dan berisiko kehilangan empati masyarakat yang tengah mati-matian memperjuangkannya.Â