Pesta Demokrasi hampir usai, Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 Â telah menetapkan pasangan Jokowi-Amin sebagai pemenang 55.41%.
Selanjutnya Kuasa Hukum Prabowo-Sandi melakukan upaya hukum Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Presiden/Wapres atas Keputusan KPU dan tgl 24 Mei 2019 Jam 22.35 WIB ke Mahkamah Konstitusi. Walaupun upaya hukum Kubu 02 ini harus diapresiasi sebagai upaya Konstitusional, namun dalil-dalil yang dibangun sangat subjektif sehingga kurang memenuhi kaidah-kaidah ilmu hukum sebagai ilmu yang telah berdiri sendiri (sui generis), yaitu dengan dimasukkannya dalam gugatan anasir-anasir politik dan dibungkus dengan ayat-ayat kitab suci yang seharusnya wajib dihormati dan bukan dipakai untuk menyerang martabat seseorang dengan tuduhan tidak adil, KPU dicurigai tidak netral dan curang,  Bawaslu dicurigai, TNI POLRI dan BIN dicurigai, Aparat PNS dicurigai, Pegawai BUMN dicurigai, Incumben dicurigai, MK disebut Mahkamah Kalkulator.  Seharusnya karena kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat maka yang dicurigai adalah 55.41 rakyat  pemilih 01 kenapa tidak mau memilih 02.
Seyogyanya upaya yang perlu dibangun Kuasa Hukum 02 adalah dalil-dalil hukum yang objektif dengan  bukti-bukti empirik yang sah (valid) sesuai hukum acara di MK, bukan bukti berita-berita online dan akun twiter yang nilai pembuktiannya diragukan.
Secara ilmiah, Â Upaya Hukum ini dapat dianalogikan bagaikan orang yang sedang mau tenggelam di laut, maka segala dalil-dalil gaya renang yang dilakukan adalah sebagai cara untuk bertahan hidup dan agar tetap mengambang tidak tenggelam".
Kemudian giliran Hakim MK pun mulai di Fetakompli (faire a compli) supaya tidak jadi Mahkamah Kalkulator, sebuah Stigma Baru yang sangat "tidak edukatif" Â yg diberikan seorang Kuasa Hukum 02 atas sebuah Lembaga Negara. Fetakompli itu arti sederhananya "Pemohon upaya hukum mengharuskan hakim mau tidak mau harus menyetujui dalil-dalilnya yang subjektif, dan jika tidak, berarti sama curangnya seperti yang lainnya", dan pernyataan ini sangat tidak etis dan beraroma "Contemp of Court'.
Padahal kesembilan Hakim MK itu bukan robot yang dapat di Fetakompli bagai balita, mereka adalah  pelaku kekuasaan kehakiman yang  merdeka, mereka adalah orang-orang  yang kredibel dan Negarawan yang berintegritas dalam hukum, jadi Hakim tidak boleh dipasung cara berpikirnya, mau mereka jadi kalkulator sebagaimana seharusnya menurut Pasal 473 ayat (3) dan Pasal 475 ayat (1) ayat (2) UU PEMILU, atau mau jadi Filsuf dalam memutus Perkara Pilpres tersebut, itu kewenangan Hakim MK  dan diatur UU MK. Oleh karena itu yang mengajukan Upaya Hukum jangan menfetakompli.. dan selanjutnya biarlah Upaya Hakim yang menentukan.. (TiMeS Law Firm}
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H