Tidak salah memang, mengungkapkan kecintaan atau mengesankan diri kita sebagai anak berbakti kepada ibu, tepat di hari ibu ini. Tidak salah, dan memang tidak ada yang salah. Semoga memang demikian adanya. Semoga memang kita begitu sayang kepada ibu. Begitu hormat padanya, begitu dekat dengannya. Hanya saja, seorang kawan berpesan kepada saya, "Pastikan saja emak loe punya akun FB, sehingga dia bisa baca ungkapan sayang loe. Atau, paling enggak, loe kasih tau postingan loe ke dia, atau loe bacain di depan dia. Itu penting, agar loe gak dianggap pencitraan aja". Saya kira, pesan kawan saya ada benarnya. Meskipun di antara kalian mungkin saja ada yang tersindir dengan ungkapan itu, atau bahkan mungkin ada yang spontan membatin, "anjrit nih orang". Terserah aja.
Konon, pada 22 Desember 1928, di Yogyakarta, diselenggarakan kongres perempuan pertama. Saya katakan "konon" karena saat itu saya belum lahir. Jadi saya tahunya dari mbaca-mbaca, silahkan tanya si kakek segala tahu itu kalo gak percaya. Tanggal pertemuan para perempuan pergerakan itulah, oleh presiden Soekarno kemudian ditetapkan sebagai hari ibu. Nah, dengan demikian, konteks hari ibu di 22 Desember ini sangat berbeda dengan konteks mother's day-nya orang sono. Dengan demikian, salah kamar kiranya jika mempersembahkan kecintaan kita kepada ibunda dengan menisbatkannya pada 22 Desember. Tapi tenang aja, gak usah gusar. Sebagaimana saya tulis di awal, tidak salah memang jika kita tetap melakukan hal itu. Bukankah sudah sepatutnya kita senantiasa mengungkapkan cinta kepada ibunda tanpa peduli ruang dan waktu?. Seperti kata iwan fals lewat lagu berjudul Emak,"Tanpa engkau, sedikit pun tiada artinya aku; bagiku kau api yang berikan hangat begitu kuat pada beku nadi; tiada dua engkau hadirkan cinta tak berakhir; takkan pernah mampu kulukis putihmu lewat lagu; maafkanlah aku"
Sebagai teman, saya mau saran nih, boleh yaa boleh yaa. Begini. Gimana kalo pada momen hari ibu ini, teman-teman menyuarakan sesuatu yang memiliki semangat yang sama dengan kongres perempuan tahun 1928 itu?. Gimana?. Masalahnya begini, persoalan yang disuarakan perempuan-perempuan waktu itu, nyaris 80 tahun yang lalu, saya kira belum benar-benar bergeser hingga saat ini. Coba deh sesekali kalian nengokin website resminya Badan Pusat Statistik (BPS). Di website itu kalian bisa tahu, ternyata hare gene masih ada lho, seorang ibu yang meninggal pada saat atau pasca melahirkan?. Ternyata perempuan cenderung lebih rentan putus sekolah lho?. Ternyata upah buruh perempuan cenderung lebih rendah lho?. Ternyata banyak juga lho, karena kemiskinan, perempuan terpaksa bekerja, meski mereka gak ngerti harus kerja apa, pokoknya yang penting kerja. Bagi kalian yang senang mencermati politik misalnya, coba deh kalian cermati jumlah perempuan di daftar Caleg, dengan jumlah perempuan yang jadi Aleg. Coba deh pelototin, kalian mungkin akan terhenyak jika mengetahui bahwa faktanya perempuan di daftar Caleg itu hanya dijadikan semacam formalitas belaka. Coba juga kalian telusuri bagaimana nasib perempuan-perempuan disekitar korporasi sawit dan tambang. Banyak lagi sebenarnya angka-angka yang membuat kalian terhenyak dan terpaksa menelan ludah kembali. Dan soal-soal semacam inilah yang mestinya sama-sama kita suarakan terus-menerus, utamanya di hari ibu ini. Menyuarakan persoalan-persoalan semacam itu saya kira tidak akan menggeser sedikit pun rasa cinta kita kepada ibunda. Malahan, bisa jadi, itu juga suara hati ibunda kita. Suara hati seorang perempuan. Suara hati yang secara sadar atau tidak, kerap kita marginalkan. *elap ingus dulu, karena tiba-tiba ingus saya meler dan aura pekik bung tomo seolah masuk ke raga hehehe.
Coba deh, sesekali jatuh cinta pada angka-angka, rasanya membahagiakan juga lho. Saya sudah merasakannya. Gak percaya? Mampirlah ke www.bps.go.id, atau, jika kalian ingin lebih puas, silahkan ikhtiar memperpanjang usia dengan jalan silaturrahim ke pusat data BPS di dekat pasar baru Jakarta. Tenang aja, kalian akan dilayani dengan ramah, free of charge, dan free wifi.
Kenapa kecintaan kepada data itu penting?. Begini. Kalian pasti pernah mendengar ungkapan keren Soekarno, JAS MERAH, alias, jangan melupakan sejarah. Tau kan? Kalo gak tau, sebaiknya kalian tutup aja akun FB kalian sekarang, malu-maluin aja. Nah, mengapa mempelajari sejarah itu penting?. Begini. Menurut saya, garis besar ilmu pengetahuan itu sebenarnya cuma tiga: (1) belajar dari yang sudah pernah dipelajari orang lain, (2) belajar memahami soal kekinian, dan (3) belajar memprediksi masa depan. Itu saja sebenarnya. Nah, untuk dapat sampai pada point 2 dan 3, kalian harus terlebih dahulu menguasai point 1, dengan kata lain, kalian belajar soal sejarah. Cilakanya pendidikan kita saat ini, jangankan point 2 dan 3, bahkan masih sedikit di antara kita yang sudah menguasai point pertama. Mau bukti? Yaa itu tadi gampangnya, mengungkapkan sayang kepada ibunda dengan menisbatkannya pada hari ibu. Sekali lagi, gak salah memang, hanya saja hal itu membuktikan satu hal: kita belum beranjak lulus di point satu dari GBIP (garis-garis besar ilmu pengetahuan).
Tulisan ilmiah kita saat ini masih terus berkutat pada, "menurut blablabla (1234)" tanpa keberanian untuk memiliki pendapat sendiri, pandangan sendiri. Kita terjebak "sudah intelek" jika sudah merangkum banyak pendapat, apalagi jika pendapat-pendapat itu berasal dari negeri-negeri sono. Kita seolah lupa bahwa setiap pendapat sudah pasti akan menempel berbagai atribut ruang dan waktu (dalam tradisi keilmuan islam dikenal apa yang disebut sebagai Asbabun nuzul). Dalam setiap pendapat juga akan menempel unsur pengalaman dari yang berpendapat. Buat saya, adalah semacam kecerobohan jika kita begitu saja menelan utuh sebuah pendapat, apalagi dengan seenaknya menjejerkan pendapat itu dengan situasi yang kita hadapi. Padahal, pendapat itu dan kondisi kita saat ini bisa jadi nyata-nyata berbeda dalam ruang dan waktu. Untuk itulah, saya menaruh apresiasi yang setinggi-tingginya pada para pendiri bangsa yang menetapkan hari ibu tidak serta-merta sama dengan mother's day di negeri sono. Saya kira, kita sudah dibekali tradisi intelektual yang luar biasa dari para founding father bangsa ini. Kita hanya perlu bekerja keras, bersemangat melanjutkan tradisi itu. Kita harus mulai berani memiliki pendapat dan cara sendiri dalam berbagai bidang keilmuan, mulai dari ekonomi, politik, tata negara, sosiologi, antropologi, film, musik, dan yang lainnya. Saya berkhayal, suatu hari nanti, cara-cara dan pendapat-pendapat yang kita hasilkan itu menjadi semacam identitas kita sebagai bangsa. Jati diri kita. Kehormatan kita.
Lantas, apa kaitannya sejarah dan angka-angka statistik?. Angka-angka statistik adalah fenomena sejarah masyarakat. Artinya, berbagai fenomena itu sudah pernah terjadi. Fenomena itu dikumpulkan, dikuantifikasikan, agar lebih mudah dipahami dan dipelajari. Secara umum, angka statistik menggambarkan sebuah fenomena dengan sebaran (populasi) yang besar. Praktisi menyebutnya sebagai fenomena makro. Semacam agregasi dari ribuan fenomena kecil. Adalah tidak tepat jika menganggap angka-angka statistik sebagai sebuah gambar dengan resolusi tinggi, 10 mega piksel misalnya. Bukan, angka statistik bukan gambar semacam itu. Angka statistik yang baik sebenarnya bisa dimaknai sebagai semacam sketsa. Hanya sketsa, tidak lebih dan tidak kurang. Tapi jangan khawatir, sketsa itu bukanlah semacam karikatur yang membuat bingung, juga bukan gambar elok hasil olahan photoshop atau coreldraw. Sketsa itu cukup jelas tapi tidak terlalu detail. Sketsa itu bisa menggambarkan sesuatu tapi tidak selalu utuh.
Demikianlah sodara. Buat saya, 22 Desember ini menjadi bukti bahwa founding father bangsa kita telah menanamkan tradisi keilmuwan yang tidak sekedar ikut-ikutan. Tradisi keilmuwan yang berakar pada ruang dan waktu bangsa sendiri. Tradisi mencipta, sebuah tradisi yang saat ini nyaris punah. Namun demikian, meski berat saya ungkapkan, 22 Desember ini buat saya juga adalah bukti, bahwa kita memang abai pada sejarah. Tak peduli soal sejarah. Tak peduli soal angka-angka statistik. Saya kira, kondisi kita saat ini adalah semacam buah dari ketidakpedulian kita dengan sejarah. Buah dari "merasa intelek" kita selama ini.
Barangkali, sudah saatnya kita mulai merasa malu jika kita hanya mengumbar cinta kita kepada ibu, hanya melulu lewat kata-kata, lewat gambar-gambar. Kita benar-benar harus malu kepada ibu. Ibu yang melahirkan kita. Ibu yang membesarkan kita. Dialah ibu sesungguhnya. Dialah IBU PERTIWI.
Tanno K Helaw, 22122014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI