Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Salahkah Saya Merindukan Suasana Hari Raya di Kampung Halaman?

27 Juli 2014   22:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:01 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1406450671372029787

ft.rumah kenangan di Wisma Indah Padang/doc.pri

Salahkan Saya Bila  Merindukan Suasana Hari Raya Seperti di Kampung ?

Hari Raya merupakanhari yang sangat istimewa bagi Umat Muslim sedunia. Koq bisa ,seorang non muslim kangen suasana hari raya di kampung halaman? Tapi perjalanan hidup mengajarkan pada saya ,bahwa beda suku dan beda agama, bukan halangan untuk orang saling merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain. Seperti halnya jalur internet tidak dibatasi oleh negara dan samudra. Selama sudah terjalin komunikasi, maka hubungan ini bisa tetap berlanjut dimanapun dan sampai kapanpun.

Pikiran dan perasaan seseorang,ternyata tidak bisa dikekang atau dibatasi oleh norma norma yang biasa berlaku dalam masyarakat. Bisa saja orang meneteskan air mata, untuk korban perang yang terjadi diluar negeri, walaupun sama sekali tidak ada hubungan kekeluargaan.Sesungguhnya tak ada yang bisa membatasi pikiran dan perasaan seseorang,kecuali diri sendiri

Cuplikan Sepotong Perjalanan Hidup.

Saya lahir di Padang. Hidup dan bergaul dengan semua orang. Keluarga saya tidak hanya merayakan Natal dan Tahun Baru ataupunTahun Baru Imlek, tetapi juga ikut merayakan Hari Raya Idul Fitri. Walau hanya dari satu sisi saja,yakni ikut bergembira dan mencoba memberikan kegembiraan kegembiraan kecil kepada lingkungan kami, yang mayoritas Muslim.

Setahun Merayakan 4 Hari Raya Yang Berbeda

Cuplikan kenangan tentang rasa kangen suasana hari raya di kampung ,hanya sepotong ungkapan rasa hati. Tidak ada maksud pamer “kebaikan” , tapi sekedar mengisahkan kembali masa masa kebersamaan dengan saudara saudara yang beragama Muslim di kampung .Yang kini hanya tinggal sebuah kenangan indah.

Pada waktu kami masihtinggal di Jalan Bunda I/6,Wisma Indah di Kota Padang ,merupakan satu satunya keluarga yang merayakan 4 kali hari raya dalam satu tahun. Pertama yang datang berkunjung adalah karyawan kami bersama keluarganya. Karyawan kami berjumlah 67 orang,plus anak istri ,sehingga total yang datang bisa mencapai 200 orang.Dan kunjungan ini masih dilengkapi dengan kunjungan dari tetangga sekampung disekitar Wisma Indah. Makanya tetangga kami bercanda, bahwa rumah walikota Padang (pada waktu itu),tidak seramai rumah kami..

Hal ini menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi kami sekeluarga. Karena kami peduli pada mereka, maka kami dikunjungi. Istri saya Lina sejak satu bulan sebelum hari raya Imlek dan Idul Fitri, sudah menukarkan lembaran uang kertas baru di bank.Untuk dibagikan pada anak anak yang berkunjung kerumah kami.Membuat anak anak bahaga, sungguh merupakan hiburan tersendiri bagi kami. Walaupun hanya hal hal kecil yang kami lakukan, namun ternyata hingga anak anak itu beranjak dewasa,setiap kali kami pulang kampung dan ketemu salah satu ,mereka menyambut kami dengan sangat antusias.Apalah artinya “angpau” yang kami bagikan, bila dibandingkan dengan hubungan kekeluargaan yang berlangsung selama puluhan tahun hingga saat ini.

Belajar Ketulusan dari Orang Kampung

Bergaul dengan orang orang sekampung , tidak hanya menyenangkan dan memberi arti bagi kehidupan kami, tetapi sekaligus banyak hal yang bisa dipetik hikmahnya. Salah satunya adalah belajar ketulusan.

Mereka datang dengan hati ,bukan dengan pikiran dan merasa kami adalah bagian dari keluarga mereka. Makanya kalau mereka menyukai salah satu dari makanan yang kami sediakan, maka mereka tidak segan mengatakan :” Bu , masakan ini enak , kalau ada kelebihan boleh saya minta untuk dibawa pulang?”Sebuah ungkapan hati yang tulus.

Berbuka Puasa Bersama

Pada waktu bulan puasa, setiap hari Sabtu,dirumah kami siapkan makanan untuk berbuka puasa bersama , baik dengan tetangga ,maupun teman teman dari komunitas lainnya.Terkadang ada yang membawa “lamang”((lemang) dan ketupat santan,untuk disantap bersama sama.

Hal ini tidak pernah lagi saya temui ketika kami sudah pindah ke Jakarta. Apalagi tinggal di Apartement Kemayoran, tetangga satu lantai saja tidak saling kenal,apalagi mau diajak berbuka puasa bersama.

Hanya Tinggal Sekeping Kerinduan Hati

Domisli di Australia ,semakin menjauhkan kami dari suasana hari raya di kampung. Walaupun teman teman saya cukup banyak yang Muslim disini, namun ketika diundang,yang datang hanya 2 atau 3 orang saja. Semakin terasa suasana individual .

Oleh karena itu ,sesekali kami kembali ke Indonesia, kami mencoba Kopdar dengan teman teman Kompasiana,tapi yang datang juga hanya belasan orang. Waktu dan suasana sudah mengubah segalanya dan saya tidak mungkin mengikat bayang bayang kerinduan. Yang dapat saya lakukan adalah menulis artikel kecil ini dan sekaligus mewakili seluruh keluarga,mengucapkan :

“SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN “

Mount Saint Thomas, 27 Juli, 2014

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun