Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

”Pepih Nugraha,Sang Inspirator dan Motivator” Ternyata Laris di Situs Berita Online

12 April 2015   11:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14288128061171445011

[caption id="attachment_378059" align="aligncenter" width="300" caption="foto: buku Kompasiana Etalase warga Biasa"][/caption]

”Pepih Nugraha,Sang Inspirator dan Motivator” Ternyata Laris di Situs Berita Online

Pagi ini dari beberapa pesan inbox, ada sebuah pesan menarik dari mbak Dewi ,seorang Kompasianer juga. Tapi nama lengkap tidak saya tuliskan disini,karena belum minta ijin . Singkatnya :”Artikel saya jang berjudul : “ Pepih Nugraha Sang Inspirator dan Motivator” di publsh di situs online dan mendapatkan tempat terhormat di Kanal Gaya Hidup.Situs Berita Online.

Pada waktu artikel ini saya postingkan  di Kompasiana,,seingat sayatidak masuk ke Headline ataupun TA, namun disini ,tadi pagi tertulis :” dilihat oleh: 800 orang”

(bisa dibaca disini: http://gayahidup.rimanews.com/read/20131119/127431/Mengenal-Pepih-Nugraha-Sang-Inspirator-dan-Motivator-Kompasiana)

Rasa bangga bukan karena tulisan saya di sharekan di situs lain,dengan menuliskan nama lengkap, bahkan alamat lengkap saya di 69 The Avenue, Mount Saint Thomas, NSW ,juga ditulis utuh. Kebanggaan terlebih kepada sosok yang ditampilkan,yakni Pepih Nugraha , orang nomer satu di Kompasiana, dimana kita semuanya bergabung.

Cuplikan Artikel

Saya kutip bagian bagian yang merupakan esensialnya, agar pembaca tidak perlusibuk buang waktu untuk mencari artikel tersebut.Karena sudah cukup lama di postingkan.

Menghargai Karya Tulis

Pada lembaran pertama ,sesudah cover, mata saya terpaku pada tulisan tangan Pepih Nugraha:

‘Kita menaruh hormat kepada para penulis

disaat kita menemukan kesulitan saat menulis.”

dan dibawahnya ada tanda tangan asli dari penulis ,tertanggal 8/10/2013.

Dalam satu goresan penanya saja,Pepih Nugraha sudah menitipkan pesan moral yang mendalam ,yaitu :” Hargailah karya tulis”. Dan hal ini baru bisa kita maknai secara penuh,di saat saat kita merasakan bahwa menulis (dengan baik) itu tidaklah mudah.

Buku yang berjudul : Kompasiana ,Etalase Warga Biasa ,yang tebalnya 268 halaman ini ,adalah Karya : Pepih Nugraha.Diterbitkan oleh : PT Gramedia Pustaka Utama /Cetakan Pertama : 24 Oktober ,2013/ISBN: 978 – 979-22-9987-8

Memahami isi buku,berarti mampu menyelami jiwa penulisnya

Untuk dapat menyelami roh dari isi buku ini,tidak mungkin secara naif kita membaca seperti membaca komik atau cerita silat. Bukan karena kata katanya yang rumit untuk dicerna. Melainkan setiap kata yang ditulis,seakan menuangkan segala derita yang dialami oleh Penulisnya. Diawali dari kalimat yang terpajang dibawah judul buku:” Pergulatan Membangun dan Mengembangkan Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia.”

Dalam kata :”pergulatan “ ini ,dapat dibayangkan dan dirasakan bahwa untuk melahirkan Kompasiana ,ternyata seorang Pepih Nugraha harus melakukan pergulatan . Entah itu bermakna bergulat dengan dirinya sendiri,entah bergulat melawan arus yang ingin melakukan aborsi terhadap bakal bayi yang kelak bernama Kompasiana ini,hanya Tuhan dan Pepih yang tahu.

Namun kalau kita menelaah secara arif, kegalauan dan kegundahan hati Pepih bisa dirasakan ,dalam catatan hariannya yang disalin dalam buku ini: “Kalau tidak ada manfaatnya ,bahkan keberadaannya malah merusak citra Harian Kompas,tutup saja Kompasiana “ kata salah seorang Redaktur muda mempertanyakan apa manfaat Kompasiana untuk Harian Kompas.

Tapi syukur.kegalauan Pepih menjadi reda ,ketika Rikard Bagun ,pada waktu itu menjawab pertanyaan ,sekaligus protes itu dengan  cukup bijak.Dan hal ini melegakan Pepih .Hal ini dapat kita baca pada kalimat:” Sejujurnya saya sangat tertolong dengan jawaban sekaligus pandangan Rikard.yang meskipun bersifat umum,tetapi paling tidak itu jugalah yang ingin saya(Pepih)katakan kalau saya diberi kesempatan menjawab pertanyaan tadi

Kendati ada saran untuk meniadakan kelangsungan hidup bayi yang bernama Kompasiana ini,yang jelas jelas telah melukai hatinya,namun Pepih bukan tipe orang yang pendendam. Ini bukan kata saya,tetapi menyimak tulisan Pepih sendiri:” Redaktur muda yang bersemangat itu tidaklah salah,karena ia”buta” sosial media.

Hal tersebut bukan berarti perjuangannya sudah selesai,malah dapat dapat dikatakan sebagai awal batu sandungan . Bila kita simak lagi tulisan selanjutnya:

“Ketika pertanyaan dan gugatan terus berlanjut,serta berkesinabungan memantul di dinding dinding rapat redaksi yang tertutup,sesering itu pulalah saya menjelaskan mengenai “barang baru”,bernama Kompasiana ini.Tidak ada bosan bosannya ,saya harus menjelaskan tentang nature atau sifat dari  UGC,yang cenderung menulis sebebas yang mereka pikirkan.Inilah menulis yang tanpa harus melibatkan gunting sensor editor,sebagaimana halnya jurnalis di media arus utama.Dalam konteks kecil ,saya merasa sedang memperjuangkan apa yang saya sebut sebagai “demokratisasi” atau kebebasan berekspresi. Ironis dan sungguh sangat berlawanan dengan kenyataan bin niatan Harian Kompas yang selalu mengedepankan dan terus memperjuangkan demokratisasi,tetapi kenyataannya malah akan menutup kran demokratisasi itu dengan menghabisi Kompasiana. Maka gugatan mengenai keberadaan Kompasiana saya anggap lebih merupakan personal ,bukan institusional.”

Tidak Pendendam,bukanlah Berarti Lemah

Disini kita bisa membaca karakter penulisnya yang tidak pendendam,tapi berani melawan arus,karena yakin ia berada di jalan yang benar.

Sambil  melakukan pergulatan baik yang bersifat eksternal ,maupun yang datang dari internal.Pepih melaju terus ,mendayung sendiri perahunya ,yang kini sarat di tumpangi Kompasianers. Keberhasilannya sebagai inspirator dan sekaligus motivator di Kompasiana ini,tidak membuatnya menjadi angkuh dan berbangga diri.Melainkan terus menata diri dengan merujuk pada kegigihan para seniornya yang berada di Kompas. “.,………..Saya bayangkan , pendiri Harian Kompas saat membangun koran itu banyak menemukan gugatan ,olok olok ,cemooh dan bahkan makian dari sebagian orang,bahkan dari pembacanya sendiri. Mungkin ada sebagian elemen warga dan masyarakat yang memandang kelahiran Harian Kompas dengan sinis .Toh para founder ini jalan terus dengan satu prinsip “Kompas sebagai harian umum adalah  keniscayaan pada zamannya Saya mempertegar hati dan diri sendiri dengan mengatakan hal serupa “Kompasiana” sebagai media warga adalah suatu keniscayaan pada masa sekarang.

Ada senjang waktu.tetapi waktu jugalah yang menjadi penentunya ,apakah Kompasiana bisa ajeg dan tetap berdiri atau harus mati sebelum benar benar menjadi.

Berpijak pada sifat yang bijak inilah maka ,tidak salah bila Kompasiana tidak hanya mampu membuktikan eksistensinya,bahkan telah mampu menghipnotis hampir 200.000 ribu orang,yang dengan rela,menandai keningnya dengan stempel:”Kompasianer”.

Suatu angka yang sangat fantastis dan hanya mungkin diraih oleh orang yang mentalnya sudah digodok oleh berbagai peristiwa hidup .Dengan mengikuti setiap langkah yang ditapaki oleh Pepih,jelaslah sudah,bahwa tidak mudah bagi seorang Pepih untuk melahirkan Kompasiana,serta mempertahankannya kelangsungan hidupnya. Karena itu kalau ada ajang yang mengangkat sosok kompasianer menjadi sosok terfavorit,maka rasanya tidaklah berlebihan bila  Pepih Nugraha di sebut sebagai Sang Inspirator dan Motivator ,karena telah melahirkan ,mempertahankan dan mengembangkan Kompasiana ini,menjadi Estalase Warga.

Dengan memahami perjalanan panjang yang mendera dari pencetus Kompasiana ini,mungkin kita perlu berkaca diri,untuk tidak lagi bertanya: “Apa yang saya dapatkan di Kompasiana Ini?” Melainkan bertanya pada hati kita:”Apa lagi yang bisa saya lakukan untuk ikut berperan mewujudkan cita cita Kompasiana:”Kami semua untuk Indonesia!”

Bottom of Form

Artikel ini sudah pernah dimuat  ,hampir 2 tahun lalu dan diposting ulangkan dengan tambahan keterangan di awal  tulisan, Sebuah kebanggaan bagi kita semuanya, bahwa ternayata tulisan kita di Kompasiana dilirik banyak orang.

Hal ini dapat merupakan motivasi diri bagi kita, bahwa tulisan yang sepi pembaca, bukan serta merta berarti  tulisan sampah. Setidaknya kita harus menghargai hasil jerih payah kita. karena menulis dan mempublish sebuah  artikel tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak jarang, kita korbankan waktu ,tenaga dan dana untuk dapat menuliskan sebuah artikel,untuk mendapatkan  info dan foto foto yang akurat.

Iluka, 12 April, 2015

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun