Merangkak Bersama, Sukses Bersama , Garis Finish Telapak Tangan Berbeda
Kami sama sama merangkak dari nol besar, sama sama hidup menderita bertahun tahun. Dan akhirnya kami berdua pada waktu yang hampir bersamaan, berhasil meraih impian kami, yakni menjadi Pengusaha Nasional. Namun di garis finish telapak tangan kami berbeda.
Tulisan ini saya salin dari peristiwa nyata kehidupan sahabat dan sekaligus kerabat saya, yang mengawali hidup dengan kerja keras, sempat meraih sukses belasan tahun, namun garis tangan kami ternyata berbeda. Untuk apa menulis tentang kisah hidup orang lain? Karena ada hasrat hati, agar jangan sampai orang lain mengalami nasib yang sama seperti sahabat saya.
Istilah :” garis tangan” ini, saya pinjam dari tulisan pak Pepih Nugraha. Sempat saya terpikir, apakah sama garis tangan setiap orang dengan takdir dirinya? Sungguh saya tidak bisa menjawab, karena saya bukan ahli agama dan juga bukan tipe seorang seorang yang agamis.
Ketika Jasad Sahabat Saya Masih Terbaring Dirumah, Putranya Sudah Mengumpat
Suatu waktu ketika berkesempatan pulang ke Indonesia, saya melayat sahabat dan sekaligus kerabat kami yang meninggal dunia. Dulu ia seorang pengusaha, namun karena sakit yang berkepanjangan dan menghabiskan uang yang tak terhitung di Rumah Sakit Mount Elisabeth di Singapore, akhirnya meninggal dunia.
Selama berbulan bulan sakit, perusahaannya tidak ada yang mengendalikan, sehingga menderita kerugian besar dan bangkrut. Waktu kami menjenguk, seperti layaknya orang turunan Tionghoa meninggal, tidak langsung dikebumikan. Melainkan disemayamkan dirumah atau dirumah duka, agar memberikan kesempatan kepada sanak keluarga yang tingggal diluar kota, berkesempatan datang melayat.
Saya duduk didampingi putranya yang sudah bekerja. Dari pada duduk bengong, maka saya membuka pembicaraan, berapa lama ayahnya sakit dan apa penyebabnya?
Jawaban putranya yang bernama Donald (bukan nama sebenarnya) sungguh sungguh membuat saya terperanjat. “Kata orang papa saya kaya. Kaya apaan?! Lebih dari 3 miliar uang dihabiskan di Singapore untuk berobat dan belum lagi harus bayar bunga uang bank. Untuk beli peti mati saja, saya harus utang 11 juta rupiah, tahu Om?!”
Terpana dan terhenyak
Sungguh saya terpana dan terhenyak, syukur bukan saya yang terbaring didalam peti itu, Gumam saya dalam hati. Sungguh tega, putra yang disayangi oleh sahabat saya almarhum, ternyata sama sekali tidak sedih karena kematian ayahnya, tetapi justru ia sedih karena harus mengeluarkan uang membeli peti mati.