Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menulis Bukan Mengejar Uang, Tapi Bila Ada Nilai Uangnya Mengapa Tidak?

15 September 2016   20:36 Diperbarui: 15 September 2016   20:44 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kenangan :puluhan orang antrian untuk minta tanda tangan. Tentu hal ini merupakan kebahagiaan tersendiri/tjiptadinata effendi

Menulis Bukan Mengejar Uang, Tapi Bila Tulisan Kita Ada Nilai Uangnya Mengapa Tidak?

Tidak semua orang  menulis  untuk mengejar uang. Namun ,bilamana tulisan kita ada nilai rupiahnya,tidak ada salahnya. Karena kita menerima sesuatu dari hasil karya sendiri.. Sesungguhnya untuk menulis buku, tidak harus menjadi sarjana bahasa atau sarjana sastra. Bila kita mau belajar, maka dengan kemampuan menulis seadanya, selalu terbuka jalan untuk meraih cita cita kita sebagai penulis.

Kita tidak perlu menghabiskan waktu dan tenaga dengan melakukan searching di google dan membukukan semua catatan ,yang membahas,bagaimana cara menulis buku,, agar berpeluang untuk menjadi best seller. Karena sebenarnya sangat sederhana. Tapi karena sudah terbiasa terperangkap oleh cara berpikir, bahwa yang rumit dan berbelit belit itu adalah yang benar,maka dengan mudah, pemikiran sederhana dianggap tidak berharga. Padahal justru dalam kesederhanaan itu terbungkus sebuah keajaiban.

Perlu dipahami, bahwa buku yang dicari orang dan laris ditoko buku, belum tentu secara secara serta merta merupakan karya tulis terbaik.Bahkan bila ditinjau dari sudut tata bahasa,maupun kemasan tulisannnya., bisa jadi masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Dalam kata lain” best seller tidak serta merta best writing” dan sebaliknya: ”best writing belum tentu otomatis “best seller”.

Beda jalur dan Alur

Kendati keduanya adalah membahas tentang buku,namun ada dua hal yang berbeda jalur dan pemahamannya. Walaupun buku karya saya, pernah terpajang di Harian Kompas, sebagai National Best Seller pada tahun 2004 namun bukan berarti saya adalah best writter.

Bahkan secara jujur, saya katakan bahwa gaya menulis saya termasuk gaya kampungan. Bahasa yang digunakan, hanya bahasa sehari harian. Hampir setiap tulisan saya, tidak tersentuh oleh nilai sastra, maupun gaya penulisan yang akademik. Dalam kata lain, sangat sederhana dan biasa biasa saja.

Tapi kenapa koq tulisan yang “kayak gituan” bisa jadi nasional best seller? Karena content tulisan saya mememiliki selling point atau nilai jual. Dan penerbit adalah juga sekaligus pengusaha, yang jelas menengok sebuah naskah tulisan, bukan dari keindahan tata bahasanya,melainkan dari sudut selling pointnya.

Kesederhanaan bahasa adalah Kekuatan.

Kekuatan sebuah buku adalah dari kesederhanaan bahasa yang disajikan.Mengingat para pembaca sebagian besar adalah dari komunitas non akademis. Kalangan akademis lebih tertarik membaca buku buku science, ,tehnology dan perkembangan perkembangan baru.

Sedangkan yang dibutuhkan masyarakat umum , adalah bacaaan yang dapat dijadikan sumber referensi bagi mereka untuk keluar dari kemelut hidup yang dijalaninya (information), Bagaimana bangkit dari keterpurukan (inspiration) dan langkah langkah apa yang perlu diambil untuk menata hidup, guna meraih kehidupan yang lebih layak. (motivation)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun