Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Koleksi Karya Tulis Dijadikan Warisan, Mengapa Tidak?

3 Maret 2017   19:30 Diperbarui: 3 Maret 2017   19:38 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpustakaan keluarga di Wollongong, /tjiptadinata effendi


Koleksi Tulisan Adalah Warisan Yang Tidak Ternilai

Rata-rata kita sudah pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa harta warisan menjadi awal dari perpecahan di dalam keluarga. Minimal kita sudah mendengarkan kisah-kisah sedih dan memilukan sekaligus memalukan ini. Bahkan tidak jarang, peti jenazah orang tua masih di semayamkan di rumah duka, anak-anak bukannya melayani tamu yang datang melayat melainkan sibuk bertengkar mengenai harta warisan.

Menengok semua kejadian demi kejadian yang serasa tidak masuk akal, tapi jelas jelas terjadi berulang kali  dengan versi dan irama yang berbeda menyebabkan kami memutuskan tidak ada warisan bagi anak-anak kami dan putra-putri kami sudah tahu sejak mereka masih di SMP.

Membagi Harta Bukan Masalah Mudah

Mending kalau selagi masih hidup, orang tua meninggalkan Surat Wasiat yang menyatakan aturan membagi harta pusaka yang ditinggalkan. Betapapun arif dan bijaknya orang tua menuliskan Surat Wasiat, tetap saja menimbulkan rasa tidak senang diantara anak-anaknya. Yang paling sibuk merawat mungkin merasa paling berhak mendapatkan porsi terbanyak. Sementara itu anak laki-laki, bisa jadi merasakan lebih berhak mendapatkan bagian yang lebih ketimbang saudaranya yang perempuan. Belum lagi ikut campurnya anak-anak mereka yang mungkin saja sudah dewasa. Akibatnya, harta warisan justru merupakan titik awal perpecahan di dalam keluarga. Padahal terkadang jumlah uang yang dibagikan jumlahnya tidak seberapa, tapi sudah memicu rasa tidak senang antar sesama saudara. Walaupun tidak semua orang bersikap seperti ini, tapi boleh dikatakan terjadi pada sebagian besar anggota keluarga.

Menjadikan Koleksi Tulisan Kita Sebagai Warisan yang Tidak Termakan Usia

Untuk menulis tidak harus menunggu jadi kaya. Setiap orang kalau mau sesungguhnya dapat menghasilkan karya tulis yang bukan hanya dapat dijadikan sarana untuk mengaplikasikan hidup berbagi, tapi sekaligus dapat menjadi warisan bagi anak cucu. Kami sudah membagikan kepada anak cucu buku-buku yang merupakan koleks dari karya tulis kami, baik tulisan yang dibukukan dari karya tulis pribadi,maupun karya tulis yang dibukukan bersamaan dengan tulisan teman-teman lainnya.

Disamping membagikan kepada anak cucu, kami juga membagikannya kepada ponakan ponakan kami. Buku-buku ini kelak akan menjadi warisan dari kami yang tidak akan termakan oleh usia.

 Perpustakaan Pribadi 

Koleksi buku-buku karya tulis pribadi, sekaligus membuka jalan dan  sekaligus merupakan langkah awal untuk menyusun sebuah Perpustakaan Pribadi dan kemudian kami gabungkan dengan koleksi buku dari anak mantu, sehingga menjadi perpustakaan keluarga. Lumayan, dalam waktu beberapa tahun sudah terkumpul lebih dari 1000 judul buku, Walaupun kini sudah zaman digital dan kata orang  penerbitan buku sudah mengalami masa senjakala, kita tidak harus terhenti oleh pendapat ini. Karena membaca buku secara phisik,tetap saja memiliki seni dan keasyikan tersendiri,kendati ada begitu banyak e-book yang dapat dicopy lewat internet.

Sekalipun sebuah buku sudah lama dibeli, namun bagi yang belum pernah membacanya tetap saja merupakan buku-baru yang menarik. Bahkan buku-buku yang disukai bisa dibaca berulang kali. Karena memiliki daya tarik tersendiri yang menjadi magnet untuk menarik minat baca kita. Membeli,memiliki dan mengoleksi buku-buku, sungguh merupakan harta tak ternilai yang dapat diwariskan kepada anak cucu dan sekaligus menjadi jembatan mempererat hubungan persahabatan dengan teman teman, karena mereka bisa singgah diwaktu senggang untuk berkunjung dan sekaligus menikmati bacaan secara gratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun