[caption id="attachment_342861" align="aligncenter" width="450" caption="Kita boleh miskin,tapi kita bukan maling"][/caption]
Kita Memang Miskin, TapiBukan Maling
Pesanini diberikan pada saya oleh almarhum ayah saya lebih dari setengah abad lalu, tapi hingga saat ini tetap saya ingat. Pesan inilahyang menjadi alarm bagi saya, ketika ada saatnya hati saya bimbang.
Ketika pesan ini disampaikan kepada saya, umur saya pada waktu itu baru 11 tahun.
Saya cuplik sepotong kisahnya:
Suatu ketika,sekolah liburan panjang,karena memasuki bulan puasa. Anak anak dikampung mengisi waktu libur dengan adu layangan.Pada waktu itu, saya masih berumur 12 tahun dan duduk dikelas 4 SD. Seperti juga anak anak sebaya lainnya,tentu saja saya juga ingin ikut bermain layangan.Namun jangankan beli layangan, untuk makan saja ,kami jauh dari cukup.Maka jalan satu satunya adalah membuat layangan sendiri, yang sudah biasa saya lakukan.
Karena tidak ada bambu, maka saya melirik ke pagar tetangga ,yang terbuat dari bambu. Terdorong oleh keinginan untuk segera dapat membuat layangan, membuat saya tidak lagi berpikir panjang, Saya berusaha mematahkan bambu tersebut,dengan menariknya sekuat tenaga. Ternyata tidak mudah. Namun saya sudah terlatih untuk tidak pernah menyerah. Dengan menghimpun seluruh kekuatan,achirnya bambu tersebut patah…namun ada sesuatu yang aneh terasa ditelapak tangan saya.
Terlihat memutih dan dalam beberapa detik,berubah menjadi merah…ternyata telapak tangan saya tersayat dalam oleh sembilu(kulit bambu) yang tajam seperti pisau silet…
Dengan masih memegang patahan bambu ditangan, saya berlari kedapur. Mengambil bawang merah dan gula pasir, saya tumbuk seadanya dan ditempelkan ditelapak tanganku yang tersayat dalam dan lebar…Saya menggigil menahan rasa perih.Ibu ku yang pas lagi didapur,datang dan sangat kaget melihat wajahku,yang mungkin pucat pasi dan badan menggigil .Telapak tangan saya dibalut dengan sobekan kaus oblong.
Tiba tiba ayahku muncul ,entah dari mana. “Ada apa?” tanyanya penuh wibawa. Mana berani saya berbohong. Wajah ayah merah padam, menahan marah .” Kita memang miskin,tapi kita bukan maling,mengerti?!Ayo,pulangkan kembali bambu tersebut dan minta maaf”
Pertama dan Terakhir
Inilah pertama kali saya mencuri dan sekaligus terakhir dalam hidup ini.Luka yang menganga itu,akhirnya sembuh dan meninggalkan bekas ditelapak tangan saya hingga kini. Dan bukan hanya itu, tetapi kata kata yang diucapkan oleh ayah saya (alm,) ,tidak pernah akan saya lupakan. Bahkan inilah yang menjadi alarm ketika saya berada dalam kebimbangan.
Hampir Tergoda
Setelah beranjak dewasa, kendati hidup kami sudah lebih membaik,namun masih jauh dari hidup layak. Bahkan setelah saya berkeluarga. Gagal sebagai pedagang keliling,memaksa saya jadi kuli di sebuah pabrik karet di pinggiran kota Medan. Hampir 2 tahun bekerja ,saya diberikan kepercayaan sebagai Juru Timbang . Tugas saya menimbang karet yang dibawa oleh para pedagang pengumpul ,yang hendak dijual di pabrik tempat saya bekerja.