foto di Camodia, 10 Mei, 2014
Hidup itu bersifat dinamika. Bergerak dari waktu ke waktu dan dari satu sudut kesudut lainnya Bagaikan gelombang laut, mengalami up and down. Setiap orang hampir pasti mengalaminya dalam perjalanan hidupnya, begitu juga dengan hidup kami.
Setelah hidup morat marit dan menderita selama 11 tahun, akhirnya badai itupun berlalu. Hidup kami berubah total, dari penjual kelapa di pasar kumuh, yang namanya Pasar Tanah Kongsi, menjadi seorang pengusaha. Bukan hanya pengusaha, tapi juga seorang Eksportir yang memilki A.P.E. –Angka Pengenal Ekspor, sebagai Eksportir kopi terdaftar. Sekaligus sebagai Aproved Trader Cassia atau Eksportir Cassia Terverifikasi.
Kami sudah tinggal diperumahan elit di Wisma Indah, Ulak Karang –Padang, yang lokasinya dekat dengan Universitas Bung Hatta. Rumah kami, memiliki paviliun berlantai 3, ada kolam renang pribadi yang luasnya 8 X 4 meter. Cukup untuk kami sekeluarga, malahan terkadang anak anak membawa temannya berenang dirumah. Ada taman yang mendapatkan Penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup, pada waktu itu Pak Emil Salim. Sebagai rumah dengan pekarangan yang terindah dan terapi.
Kendaraan setiap tahun ganti baru dan setiap tahun, kami sekeluarga keluar negeri. Pokoknya, hidup kami pada waktu itu, bagaikan kisah dalam cerita 1001 malam. Tiap sabtu malam, undang teman teman datang kerumah untuk makan bersama. Pada bulan puasa, kami undang anggota keluarga, tetangga dan sahabat kami yang beragama Islam untuk datang berbuka puasa bersama.
Petaka Itu Datang Bertubi tubi
Sedang enak enaknya kami menikmati hidup bagaikan di Taman Firdaus, petaka itu datang bertubi tubi. Namun untuk tidak membosankan, membaca kisah hidup yang diulang ulangi, saya persingkat saja. Uang kami senilai 65 (enam puluh lima ton) barang yang dikapalkan ke Singapore, tidak dibayar oleh sahabat dagang kami disana. Jumlah uang yang kami kumpulkan dengan kerja keras selama bertahun tahun, dalam sekejab menguap begitu saja. Saya merasa bagaikan terhempas dari tempat yang tinggi.
Belum reda tersobek sobek oleh kehilangan yang begitu besar, ternyata disusul dengan menghilangnya karyawan yang sudah kami anggap sebagai anak sendiri, dengan melarikan uang senilai yang membuat saya stress dan depresi.
Takala Saya Terpuruk Habis. Istri Tampil Sebagai Malaikat Penolong
Pukulan yang bertubi tubi tersebut, membuat saya stress dan depresi. Serasa hidup saya sudah berakhir. Tidak mampu saya menerima kenyataan dari penjual kelapa menjadi Pengusaha Nasional dan kemudian jatuh terhempas. Saya sakit dan hampir gila benaran, saya mengurung diri dan tidak ingin bertemu dengan siapapun. Perangai saya berubah total, dari sosok yang tenang dan penuh kasih, menjadi manusia yang pemberang dan gampang tersinggung.
Namun meratapi nasib, tidak akan mengubah apapun. Hidup harus tetap berlangsung, anak-anak tetap harus bersekolah. Tapi pada waktu itu, saya sudah bagaikan kerasukan. Hati saya bagaikan sudah membeku dan saya tidak peduli apapun. Untuk bisa tidur, saya mulai menegak minuman keras. Mulai menelan obat obat penenang, seperti Valium dan mogadon,yang termasuk daftar G, karena mengadung morfin.