Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Di Padang Pasir Baru Menyadari Betapa Berharganya Seteguk Air

23 Juli 2017   09:46 Diperbarui: 23 Juli 2017   14:07 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
keterangan foto : di Padang Pasir Pinnacles/semua foto dokumentasi tjiptadinata effendi

Air ada dimana-mana dan saking bisa didapat dengan mudah, menyebabkan secara tanpa sadar orang kurang menghargainya. Membiarkan keran terbuka tanpa ada kepentingannya. Untuk mencuci satu buah gelas, membuang air satu gayung. Kedatangan tamu, kita bertanya: Maaf, mau minum kopi, teh atau capucinno?" Karena kalau hanya menyuguhkan segelas air putih, serasa kurang menghargai tamu. Kita baru merasakan betapa berharganya seteguk air, ditempat dimana tidak ada air.Bahkan mau dibeli dengan harga berapapun tidak ada yang menjualnya.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Di Padang Pasir
Kami mengunjungi Padang Pasir Pinnacles, yang lokasinya sekitar 250 km dari kediaman kami di Iluka. Setibanya dilokasi, memarkir kendaraan dan kami berempat orang berjalan kaki mengelilingi padang pasir ini. Sangat menarik menyaksikan batu batuan karang,yang tampil unik dan artistik bagaikan tumbuh dari perut bumi. Saking asyiknya menikmati pemandangan yang menakjubkan di depan mata, tanpa terasa mentari sudah mulai condong. Menengok kejam tangan, sudah lebih dari dua jam kami berjalan kaki mengitari Pinnacles .

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Kendati bukan musim panas, namun pantulan teriknya sinar mentari dari padang pasir membuat kerongkongan terasa kering. Kami menghabiskan  seluruh sisa minuman yang tersisa karena sudah berniat untuk meninggalkan lokasi ini. Sewaktu datang, semuanya tampak begitu mudah. Kami bisa melangkah dengan tegap. Namun ketika bejalan untuk kembali ke mobil, yang diparkir cukup jauh, kaki rasanya sudah mulai terasa berat. Kerongkongan mengering dan diantara kami berempat,tak ada yang menyisakan seteguk air dalam botol minuman yang dibawa. Kalau tadinya kami masih berjalan sambil bercanda ,kini kami berjalan dalam diam. Memandang sekeliling,yang tampak hanyalah pasir gersang dan batu batuan karang. Cafe masih jauh, yakni dipintu keluar.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Tiba Di Kendaraan
Akhirnya ,kami tiba di kendaraan dan langsung masuk kemobil. Ternyata di kendaraan juga tidak ada lagi persediaan air, karena sejak tadi sudah kami habiskan. Tapi karena ada air condiiton yang dinyalakan, lumayanlah rasanya. Karena yang nyetir adalah Lyon, tetangga dan sekaligus teman anak kami, maka saya bisa duduk dikursi belakang  sambil terkantuk-kantuk. Antara merem-melek, tiba-tiba tersentakn karena landasan mobil bergesekan dengan tumpukan pasir. Saya tersentak, rupanya Lyon nyasar. Karena GPS tidak dapat signal jadi tidak berkerja. Beberapa kali coba memutar arah, namun semakin jauh nyasar ke dalam. Kendaraan mulai mengeluarkan bunyi-bunyian, mungkin karena sering dipaksa melintasi tumpukkan pasir dan rerumputan tinggi.Sementara cuaca sudah semakin gelap.Kalau kami tidak menemukan jalan keluar segera sebelum malam tiba,maka kemungkinan kami tidak akan pernah lagi keluar dari sini.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Mencoba menelpon ke nomor emergency dengan harapan ada petugas yang akan datang menjemput kami.Tapi ternyata baik Vodafone dan  telsra,tidak berkerja sama sekali,karena tidak ada signal.Karena sudah jalan berputar putar tanpa arah,status pada bahan bakar sudah mulai menipis. Rasa haus yang mencekik,ditambah dengan rasa kuatir tidak menemukan jalan keluar,membuat suasana semakin mencengkam. Syukurlah akhirnya dengan mengikuti jalur yang sudah dilalui oleh kendaraan lainnya,kami berhasil keluar dengan selamat.Mengunjungi padang pasir dan berjalan kaki selama dua jam ,bukan hanya merupakan sebuah pertualangan ,tapi sekaligus memberikan sebuah pelajaran hidup yang amat berharga. Yakni bahwa sering kali kita baru merasakan pentingnya sesuatu ataupun seseorang,ketika kita sudah kehilangan. 

Merasakan betapa pentingnya seteguk air, ketika dalam kehausan yang amat sangat dan tidak menemukan setetes airpun. Merasakan kehilangan,ketika orang orang yang dicintai sudah mendahuli kita. Merasakan betapa selama ini kita membuang buang waktu secara sia sia dan baru sadar ketika usia sudah semakin menua. Kami berdua bersyukur,diusia mendekati tiga perempat abad, tetap diberikan kesehatan lahir dan batin,sehingga masih kuat berjalan selama berjam jam di padang pasir.Walaupun bukan pengalaman yang bersifat spektakuler,namun melahirkan rasa syukur yang mendalam. Semoga renungan kecil ini ,ada manfaatnya. Hargailah apa yang ada pada kita. Jangan menuggu sampai kita kehilangan.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun