Air ada dimana-mana dan saking bisa didapat dengan mudah, menyebabkan secara tanpa sadar orang kurang menghargainya. Membiarkan keran terbuka tanpa ada kepentingannya. Untuk mencuci satu buah gelas, membuang air satu gayung. Kedatangan tamu, kita bertanya: Maaf, mau minum kopi, teh atau capucinno?" Karena kalau hanya menyuguhkan segelas air putih, serasa kurang menghargai tamu. Kita baru merasakan betapa berharganya seteguk air, ditempat dimana tidak ada air.Bahkan mau dibeli dengan harga berapapun tidak ada yang menjualnya.
Di Padang Pasir
Kami mengunjungi Padang Pasir Pinnacles, yang lokasinya sekitar 250 km dari kediaman kami di Iluka. Setibanya dilokasi, memarkir kendaraan dan kami berempat orang berjalan kaki mengelilingi padang pasir ini. Sangat menarik menyaksikan batu batuan karang,yang tampil unik dan artistik bagaikan tumbuh dari perut bumi. Saking asyiknya menikmati pemandangan yang menakjubkan di depan mata, tanpa terasa mentari sudah mulai condong. Menengok kejam tangan, sudah lebih dari dua jam kami berjalan kaki mengitari Pinnacles .
Akhirnya ,kami tiba di kendaraan dan langsung masuk kemobil. Ternyata di kendaraan juga tidak ada lagi persediaan air, karena sejak tadi sudah kami habiskan. Tapi karena ada air condiiton yang dinyalakan, lumayanlah rasanya. Karena yang nyetir adalah Lyon, tetangga dan sekaligus teman anak kami, maka saya bisa duduk dikursi belakang  sambil terkantuk-kantuk. Antara merem-melek, tiba-tiba tersentakn karena landasan mobil bergesekan dengan tumpukan pasir. Saya tersentak, rupanya Lyon nyasar. Karena GPS tidak dapat signal jadi tidak berkerja. Beberapa kali coba memutar arah, namun semakin jauh nyasar ke dalam. Kendaraan mulai mengeluarkan bunyi-bunyian, mungkin karena sering dipaksa melintasi tumpukkan pasir dan rerumputan tinggi.Sementara cuaca sudah semakin gelap.Kalau kami tidak menemukan jalan keluar segera sebelum malam tiba,maka kemungkinan kami tidak akan pernah lagi keluar dari sini.
Merasakan betapa pentingnya seteguk air, ketika dalam kehausan yang amat sangat dan tidak menemukan setetes airpun. Merasakan kehilangan,ketika orang orang yang dicintai sudah mendahuli kita. Merasakan betapa selama ini kita membuang buang waktu secara sia sia dan baru sadar ketika usia sudah semakin menua. Kami berdua bersyukur,diusia mendekati tiga perempat abad, tetap diberikan kesehatan lahir dan batin,sehingga masih kuat berjalan selama berjam jam di padang pasir.Walaupun bukan pengalaman yang bersifat spektakuler,namun melahirkan rasa syukur yang mendalam. Semoga renungan kecil ini ,ada manfaatnya. Hargailah apa yang ada pada kita. Jangan menuggu sampai kita kehilangan.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H