[caption id="attachment_324022" align="alignleft" width="640" caption="tenunan asli sutra/foto: tjiptadinata effendi"][/caption]
Cuplikan wawancara Langsung dengan Pengrajin Tenunan Sutra di Cambodia
Bertolak belakang dengan jalan raya, yang diaspal mulus, ternyata perjalanan menuju perkampungan Home Industry sutra di Mehkong Island, tidak ubahnya seperti jalanan yang dilalui Koboi Koboi Texas yang dapat disaksikan di layar lebar. Di samping masih asli dari tanah dan sama sekali belum tersentuh oleh aspal, jalanan menuju Perkampungan Pengrajin Tenunan Sutra ini sangat parah. Penuh dengan lubang-lubang yang menganga dan batu-batuan yang berserakan di mana-mana. Setiap kali ada kendaraan yang lewat, maka secara serta merta debu beterbangan dan memenuhi rambut, wajah, dan pakaian kami. Namun kami sudah bertekad untuk mencapai Mehkong Island ini walaupun harus rela tubuh terguncang ke sana kemari. Walau sudah mencoba memegang tiang tuk tuk yang membawa kami, tidak urung beberapa kali kepala terbentur tiang penyanggah tenda tuk tuk ini.
Lumayan, sejak dari hotel Pnom Penh di mana kami menginap, membutuhkan hampir satu jam untuk dapat sampai di tempat tujuan. Begitu kami memasuki area Home Industry Sutra ini, tiba-tiba tampak seorang wanita melambai lambaian tangan sambil berseru, ”Welcome to our home industry, Sir.” Maka saya mengisyaratkan Pengemudi Tuk Tuk kami yang bernama Racchun agar menghentikan kendaraannya. Kami turun dan langsung disambut dengan sangat ramah dan diajak masuk ke ruang produksinya, yang hanya berupa teras rumah sederhana. Tidak tampak alat alat pemintal benang, seperti lazimnya di rumah produksi tenunan sutra.
[caption id="attachment_324030" align="alignleft" width="640" caption="Liza berbaju batik memperagakan hasil karyanya: foto: tjjptadinata effendi"]
Si Mbak yang memperkenalkan namanya, ”Call me Liza Sir, because my real name is very hard for you to spell it.“ Mbak Liza ini cukup fasih berbahasa Inggris, apalagi bila dibandingkan dengan rata-rata penduduk Kambodia yang tidak bisa berbahasa Inggris. Menurut Liza, setelah menabung hasil kerja keras selama bertahun-tahun, ia yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bangku sekolah, terpaksa harus mengikuti kursus bahasa Inggris di malam hari. Cita citanya adalah menjadi pemandu wisata sehingga akan dapat kesempatan untuk melihat dunia luar.
Namun karena ibunya yang biasa mengerjakan tenunan ini sakit-sakitan dan tidak mampu lagi melanjutkan pekerjaan ini, maka Liza tidak punya pilihan selain menunda impiannya dan duduk mengantikan ibunda tercintanya.
[caption id="attachment_324033" align="alignleft" width="640" caption="karya seni yang menakjubkan , tetapi tak dapat menujang hidup/foto: tjiptadinata effendi"]
Ia menghentikan sejenak pekerjaannya dan menerangkan pada kami bagaimana proses pembuatannya yang sangat rumit, dimengerti bagi saya yang awam. Semuanya dikerjakan dengan tangan, sejak dari memintal benang, mewarnai, dan menjadikannya sebuah selendang atau syal,“ kata Liza.
Menurut Liza, untuk menyelesaikan selembar syal saja butuh waktu satu minggu dan hal ini juga tidak bisa dilakukannya sendiri, perlu dibantu oleh saudara laki-laki nya untuk melakukan proses pewarnaan.
1 Lembar syal 15 dollar
1 lembar syal asli tenunan tangan dari terbuat dari sutra alami, dijual dengan harga 60.000 Cambodia Riels atau senile 15 US Dollars. Melihat cara mereka mengerjakannya, kami tidak tegaan untuk menawarnya dan langsung membeli.
Bila dibandingkan dengan kehidupan keluarga dengan home Industry di Sumatera Barat, baik di Silungkang maupun Pengrajin di Pandai Sikek, jauh berbeda. Perumahan penduduk yang disebut di atas tertata dengan rapi. Dilihat dari sudut cara berpakaian mereka juga, sudah dapat dinilai, bahwa kehidupan pengrajin tenunan dan home industry di tanah air kita, sangat jauh bedanya dengan masyarakat di sini.
Pertama adalah sarana jalan yang sangat jelek, berlubang-lubang dan penuh debu, menyebabkan turis tidak tertari ke sini. Apalagi tidak adanya Café atau tempat minuman yang cukup memadai, di mana orang dapat beristirahat sejenak melepaskan dahaga, setelah terombang-ambing selama lebih dari satu jam, di bawah terik sang mentari 37/38 derajat Celcius.
[caption id="attachment_324035" align="alignleft" width="637" caption="inilah rumah pengrajin tenunan asli sutra : foto: tjiptadinata effendi"]
Perkampungan Mehkong yang Merana
Perkampungan Mehkong Island adalah Perkampungan Miskin.
Dari penelurusan kami rumah ke rumah, ternyata kondisi mereka setali tiga uang, namun ada satu hal yang mengagumkan dari mereka, yakni mereka tidak pernah menampakkan wajah yang murung dan tidak pernah mendesak-desak kita untuk membeli hasil karyanya. Mereka menampilkan hasil tenunnnya dan bila kita bertanya, baru mereka akan memberitahukan harganya berapa.
Dan dalam kondisi yang sangat berkekurangan, mereka tetap menjaga sopan santun dan keramahtamahan. Hal inilah yang bagi kami merupakan daya tarik untuk membeli, kendati sesungguhnya kami tidak sungguh-sungguh membutuhkan syal dan taplak meja tersebut, Paling kami akan berikan oleh oleh untuk teman-teman di Australia.
Selalu ada kesempatan untuk belajar dalam setiap peristiwa hidup, bahwa penderitaan hidup, bukan alasan untuk orang kehilangan jati dirinya.
Ditulis di Mehkong island
Di Postingkan di Bandara SHIA, 17 Mei , 2014
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H