Hidup Mengejar Pahala Apakah Sudah Tepat?
Saya bukan tipe orang yang agamaisBuktinya ,saya tidak hafal ayat ayat kitab suci agama yang saya Imani.Saya berdoa ,karena merasa bersyukur,masih dikasih usia panjang, kendati sudah berkali kali diambang maut. Juga rasa syukur yang tak terhingga, keluarga dan teman teman menyayangi saya. Apalagi semua kebutuhan hidup saya selalu terpenuhi. Maka saya merasa sudah sepatutnya saya selalu bersyukur kepada Tuhan dengan cara saya sendiri.
Waktu masih di sekolah, saya di ajarkan untuk menabung pahala, agar kelak dapat masuk surga. Ketika saya tanyakan kepada bu guru,berapa banyaknya tabungan seseorang ,hingga cukup untuk tiket masukkesurga ? Bu guru tidak menjawab,malah saya dihukum berdiri disudut kelas. Padahal sebagai anak kecil,saya tidak tahu politik, saya bertanya ,karena ingin tahu. Ternyata bertanya itu dianggap kurang ajar.
Begitulah hidup yang saya jalani, sekolah dan “dididik” untuk mengumpulkan ilmu setinggi tingginya dan mengejar pahala surgawi, untuk ditabungkan ,agar kelak dapat ditukar dengan tiket masuk ke surga.Bila hal ini tidak dilakukan,maka saya akan dilempar kedalam api neraka.Sebagai anak yang patuh,tentu berusaha untuk menerima semua pendidikan tersebut. Walaupun hati saya sesungguhnya memberontak.
Anak Kami Mengajarkan Cara Hidup Berbagi yang Benar
Sesudah menikah,hidup kami masih morat marit. Bahkan sesudah putra pertama kami lahir, “nasib” masih dibawah kolong. Kami tinggal di Pasar kumuh,namanya PasarTanah Kongsi. Saya jualan kelapa dan istri mengajar. Putra kami yang masih berusia belum genap 4 tahun,sudah bangun tiap jam 4 pagi dan membantu sebisanya,mengumpulkan sabut kelapa dan memasukkannya kedalam keranjang.
Suatu malam, pintu kedai yang merangkap rumah kami, diketuk orang .Pintu saya buka. Ada seorang ibu yang mengendong anaknya. :” Assalammualaikuum...Maaf .boleh saya masuk?” katanya."Mari bu...silakan .masuk " jawab saya.
Ternyata ibu ini,tetangga kami ,yang biasanya jualan sayur. Ceritanya anaknya yang baru berusia satu tahun,yang sedang digendongnya demam tinggi . Mau beli obat ,tidak ada uang. Maksudnya mau pinjam uang.
Saya terdiam.Dalam hati saya berkata:’Ibu ini salah masuk . karena kami juga tidak punya uang. Bahkan listrik sudah dipadamkan oleh Pln.karena 2 bulan menunggak. Saya baru mau mengatakan ,bahwa kami tidak punya uang untuk dipinjamkan, tiba tiba terdengar bunyi,seperti ada sesuatu yang pecah.
Saya berdiri dan berjalan menuju ke dalam untuk melihat apa yang terjadi. Karena putra kami ada didalam. Ternyata ,putra kami sedang mengumpulin uang logam ,dari tabungannya yang pecah. Ketika saya tanya kenapa bisa pecah? Jawabannya.” Mau kasih sama si bibi paa..anaknya kan sakit,,,boleh ya paa?” kata putra kami..
Saya bagaikan terpaku dan tidak bisa berkata apapun. Mata saya basah..Putra kami tidak tahu tentang ajaran agama. Ia sudah menabung tiap hari sekeping uang logam,hasil kerjanya membantu mengumpulkan sabut kelapa .Dan sudah berbulan bulan ditabungkan di tabungan yang terbuat dari tanah liat. Maksudnya,kalau sudah cukup,mau beli pensil warna untuk menggambar. Dan sekarang tabungannya dipecahkan sendiri,tanpa ada yang menyuruh nya dan semua uang yang dikumpulkan dengan susah payah mau dikasihkan ke ibu yang anaknya sakit.
“paa..papa nggak marah kan?’ kata putra kami, melihat saya terdiam.
Saya berjongkok,memeluknya kuat kuat dan berkata:”Nggak sayang,papa tidak marah…boleh ..boleh kasihkan ke si bibi ya …”
Menerima uang logam yang digenggam oleh tangan tangan kecil dan kurus itu ,membuat si ibu menangis tersedu sedu. “ Yaa Allah…Alhamdulilah…kau utus malaikat kecil ini untuk menyelamatkan anakku…” katanya dengan air mata berlinang linang.
Inilah pelajaran tentang kasih tanpa pamrih yang terbaik ,justru dari putra kami yang belum genap 4 tahun. Ia belum tahu apa itu surga dan belum tahu apa itu pahala. Juga tidak tahu tentang ayat ayat kitab suci,tapi mengajarkan kepada kami ,bahwa kasih itu hendaknya jangan pura pura .Kasih itu harus tanpa pamrih
Renungan Diri
Tidak jarang saya merenung sendiri Saya berpikir, bila saya melakukan sesuatu karena mengejar pahala surgawi, bukankah nilai nilai ketulusan akan pupus dari diri manusia? Sehingga setiap kali orang berbuat kebaikan untuk menolong orang,bukan lagi keluar dari hati nuraninya, melainkan karena ada intimidasi yang ditekankan kepadanya? Kalau tidak mau menolong,,maka kamu akan masuk keneraka? Mungkin jawaban kita akan berbeda. Biarlah kita bertanya kepada hati kita masing masing..
Mount Saint Thomas, 15 September, 2014
Tjiptadinata Effendi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI