Mengapa Bisa Begitu?
Kedengaran seperti kisah klise yang diulang dari masa kemasa. Uniknya kisah hidup yang sangat ironis ini,dialami oleh masyarakat yang berheda latar belakang kehidupan. Tapi esensial dari kisah hidup ini senada. Yakni:" Saat sama sama hidup melarat orang lebih mudah hidup rukun dan damai"
Bukan hanya sebatas dalam hubungan keluargaan,bahkan seisi kampung bisa hidup rukun dan damai saat sama sama hidup melarat.
Tetapi begitu kehidupan mulai membaik, maka sikap mentalpun berubah. Bukannya semakin menjalin hubungan baik,malah yang terjadi justru sebaliknya.
Kata :”kita” sudah mulai dilupakan orang dan diganti dengan kata:” saya ,aku dan kami”.
Dikala hidup melarat,alangkah senang dan berbahagianya,bila ada tetangga atau teman yang mau datang bertamu kerumah. Rasanya sebuah kehormatan besar bagi seluruh anggota keluarga,ada orang yang mau berkunjung kegubuk kita.
Tetapi, dikala salah seorang yang nasib nya berubah,maka setiap kedatangan tamu,hatinya menjadi was was dan langsung pikiran negative bersarang di pikiran dan hatinya :” jangan jangan datang mau pinjam uang atau minta bantuan”
Perasaan kuatir bahwa harta kekayaannya menjadi berkurang.Sehingga menyebabkan hadirnya rasa kegelisahan ,setiap kali ada tetangga atau kerabat yang menelpon.
Secara pribadi saya sudah mengalami kepahitan hidup semacam ini. Saat saya datang kerumah kerabat yang dulu sama sama melarat.tetapi nasib nya lebih cepat berubah dibandingkan dengan nasib kami. Saat saya ketuk pintu rumah nya yang mewah, terdengar suara Om saya berbicara pada Pembantu nya:" Kalau yang datang itu Effendi yang jualan kelapa parut, bilang saja saya lagi sibuk"
Mendengar ini , hati saya bagaikan diiris dengan sembilu" . Maka sebelum Pembantu nya keluar menemui,saya langsung pulang.