Lahir di Padang di era Dai Nippon dan dibesarkan di Padang, menyebabkan masakan Padang sudah mendarah daging dalam diri. Karena itu walaupun sudah lama tinggal di negeri orang, setiap hari makanan kami berdua adalah masakan Padang.
"Apapun minumannya, makanan adalah masakan Padang" Begitulah kira kira semboyan kami berdua. Setiap kali ada pilihan,maka pilihan kami jatuh pada masakan Padang.
Nah, hal ini terbawa saat kami berdua berada di Kualalumpur. Berkunjung ke Food court, maka pandangan mata secara serta merta melirik Warung masakan Padang
Ternyata menu yang disajikan pas bana jo salero awak. Ada Rendang Padang,dendeng balado,gulai tunjang (kikil) dan samba lado hijau. Onde mande...belum dimakan sudah terasa enaknya.
Cara berbelanja disini self service. Ambil piring berisi nasi. Terus ambil Randang,dendeang balado, Jo gulai tunjang. Ditambah 2 sendok samba lado hijau.Â
Saking antusias ,lupa sesaat bahwa kami lagi di negeri orang. Langsung bertanya:" Bara kaduonyo diak? (dik, berapa keduanya? Maksudnya nasi plus lauk kami berdua)
Eh,dijawab dalam bahasa Inggris oleh si mbak:" Fifty eight ringgit,Sir".
Baru sadar bahwa yang jualan masakan Padang, tidak semuanya bisa bahasa Padang.
Sebagai orang yang back ground mathematics, isteri saya langsung berbisik;" Onde maha bana Koko, masa saratuih anam puluh ribu?" (Aduh,mahal banget.masa Rp.160.000?!). Saya cuma tersenyum dan bilang:"Kita lagi di negeri orang nih, Sayang.
Basirobok (bertemu) masakan Padang di negeri orang sungguh merupakan sebuah surprise bagi kami berdua. Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan, kami berdua menikmati makan siang dengan nikmatnya.
Coba kalau sahabat Penulis di Kompasiana ada disana, pasti kami ajak makan bersama
Salam sayang dan doa dari kami berdua di KualalumpurÂ
Tjiptadinata EffendiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H