Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Semua Akan Indah pada Waktunya

20 Juli 2023   19:35 Diperbarui: 21 Juli 2023   04:09 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
golden anniversary ,di usia kami 72 tahun ,/dokumentasi pribadi

Penderitaan Hidup Adalah Perekat Yang Paling Ampuh Mempersatukan Pasangan Hidup

Termotivasi membaca ulasan Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang ,tentang bagaimana dalam usia 80 tahun ,kami berdua masih tetap mesra seperti semasa muda. Tulisan pak Irwan Rinaldi sungguh merupakan sebuah appresiasi bagi kami berdua. Terima kasih tak terhingga kepada pak Irwan ,sosok yang sangat piawai dalam menghargai orang lain.  Setiap ada kesempatan untuk Kopdar,pak Irwan Rinaldi selalu menjadi orang pertama yang menghubungi saya via WA :"Saya Irwan Rinaldi Sikumbang berminat ikut Kopdar " Sebuah contoh kerendahan hati dan cara menghargai sebuah undangan yang patut dijadikan contoh teladan.. Salut untuk pak Irwan Rinaldi Sikumbang. Nama Irwan,persis sama dengan nama putra kedua kami Irwan Effendi. 

Kembali kejudul

Ijinkanlah saya melukiskan sekilas pintas,bagaimana kami sejak dari tahun 1990 hingga kini, selalu bersama selama dua puluh empat jam sehari .  

Kalimat ini bukan sebatas slogan tapi secara nyata kami jalani sejak 33 tahun yang lalu,yakni sejak kami memutuskan pindah ke Jakarta. 

Selama di Padang,kami masing masing sibuk sejak pagi dan baru bisa bertemu malam hari. Apalagi sewaktu hidup kami masih morat marit. Jam 3.oo subuh isteri saya ,sudah bangun karena harus ke stasiun kereta api menuju ke Pariaman,untuk membeli kelapa .Karena di sana harganya jauh lebih murah . Isteri saya selalu membawa putera kami,yang baru berusia 3 tahun. Padahal seharusnya anak seusia itu  masih tidur dalam pelukan ibunya di tempat tidur . Tetapi ,bila seorang wanita ,belum terbit matahari sudah keluar rumah ,untuk di kampung halaman kami di Padang,dianggap sebagai wanita nakal.  Karena itu,demi menjaga marwah diri sebagai seorang wanita dan sekaligus seorang isteri dan  ibu dari seorang anak, isteri harus tega menjalani hidup semacam itu. Mengapa bukan saya,sebagai seorang laki laki yang ke Pariaman ? Mengapa membiarkan isteri dan anak ,mengambil resiko ? 

Kalau memang kondisi memungkinkan,pasti saya tidak akan membiarkan isteri dan putra kami subuh sudah keluar rumah dan naik kereta api menuju ke Pariaman. Tapi karena saya sudah harus siap melayani pembeli kelapa parut .maka suka atau tidak,saya tidak punya pilihan lain.  Umumnya,yang membeli kelapa parut adalah ibu ibu yang jualan kue ,cendol dan aneka ragam masakan . Karena itu subuh mereka sudah harus berbelanja bahan dapur ,termasuk kelapa parut .Sehingga jam 6.oo pagi sudah mulai jualan kue dan makanan 

Pulang dari membeli kelapa di Pariaman,istri sudah harus buru buru untuk mengajar. Pasar Tanah Kongsi adalah Pasar Pagi . Setelah jam 1o.00 pagi pembeli sudah sepi.. Saat istri pulang dari mengajar,kami tidak sempat makan bersama Karena saya harus buru buru ke SMP Pius untuk mengajar .Kami baru bertemu  pada malam hari . Begitulah hidup yang kami lalui selama tujuh tahun. 

Pada waktu anak kami sakit,karena kekurangan gizi dan tempat tinggal di pasar kumuh yang jauh dari bersih,kami hanya bisa meratap kepada Tuhan. Cincin kawin dan jas yang dipakai sewaktu menikah,saya jual agar dapat membeli obat. Setiap malam kami berdoa bersama,sambil meratap kepada Tuhan.  Apalagi karena kedai merangkap tempat tinggal bertengger diatas kali yang menyambung ke Sungai Batang Arau,maka setiap kali air pasang naik, kedai teredam banyir dan kami mengungsi keata loteng dengan hati yang was was. Karena loteng tersebut ,hanyalah plafon rumah yang menutupi atap seng  dan bila tidak hari hati dapat rubuh sewaktu waktu. 

Selama tujuh tahun kami didera penderitaan lahir batin,tak pernah sekalipun mendapatkan undangan  Karena orang tidak mau mengundang orang miskin. Yang hanya datang untuk makan dan pulang,tanpa membawa kado.  Kalau ketemu, maka kerabat kami pura pura bertanya :"Eh mengapa tidak hadir anak kami menikah ?" Dan kami berdua hanya dapat ketawa getir.  Mulut ketawa,tapi sesungguhnya hati kami menangis. Seperti kata peribahasa :"Kalau anda tertawa,maka seluruh dunia akan ikut tertawa,tapi bila anda menangis,maka merataplah  anda seorang diri " Hal ini benar benar kami alami dan rasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun