Saya Sudah Stop Menulis Bila Saya Overthinking
Belakangan ini kosa kata:"overthinking "menempati urutan teratas di Rumah Kita Bersama ini. Dan sebagai salah satu dari konon ratusan ribu "member of Kompasiana" akhirnya saya tergoda untuk ikut latah menulis tentang kata sakti :"Overthinking " ini. Tapi tentu saja dari sudut pandang saya pribadi ,berdasarkan pengalaman pribadi selama bertahun tahun menulis di Kompasiana ini. Tepatnya tanggal 14 Oktober 2012 saya mulai menulis di Blog kolaborasi ini,karena sesungguhnya pada tahun 2009 saya sudah terdaftar di Kompas.com,tapi belum aktif menulis
Apa Hubungannya Stop Menulis Dengan Overthinking?
Dulu saya pernah jadi "anak emas" di Kompasiana.Setiap minggu ada tulisan saya yang ditempatkan di Headline,bahkan terkadang dalam seminggu bisa 2 atau 3 artikel mendapatkan kehormatan untuk ditahtakan di Artikel Utama. Tapi itu cerita dulu. Seiring dengan perkembangan zaman,maka arah tulisan yang mendapatkan tempat dihati Admin sudah berubah,sedangkan sebagai Penulis,saya tidak mampu mengikuti arus perkembangan .Sehingga tulisan saya terkesan hanya mengulangi "itu ke itu " juga. Yang tentu saja menghadirkan rasa bosan,tidak hanya  pada sebagian pembaca,tapi khususnya bagi Admin.
Untuk menghindari tulisan saya di delete atau dihapus,akibat tidak teliti dalam menempatkan sumber gambar,maka akhirnya saya memilih jalan aman,yakni menggunakan gambar dokumentasi pribadi yang isinya adalah 99 persen foto keluarga . Akibatnya ,dalam hal penempatan gambar juga,menghadirkan rasa jenuh bagi sebagian para pembaca,khususnya bagi Admin.
Kalau saya overthinking ,maka yang ada dalam benak saya adalah:
diri saya sudah tidak lagi dibutuhkan di Kompasiana
admin hanya melirik Penulis Mileneal yang sarat dengan ide cemerlang
K reward saya yang berjumlah lebih dari 2 juta rupiah raib ditelan Mr.Gojek
saya mengeluarkan dana setiap bulan 95 dollar atau hampir 1 juta rupiah hanya untuk menulis di Kompasiana
Bukankah saya mempunyai alasan yang lebih dari cukup untuk memutuskan "resign" dari Kompasiana?