Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kapan Waktu yang Tepat untuk "Take Off"?

29 Januari 2021   19:17 Diperbarui: 30 Januari 2021   03:34 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melepaskan Diri Dari Semua Kegiatan Pekerjaan ?

Wacana untuk bekerja dengan mengedepankan "Worklife "dan "Balance" kedengarannya memang sangat ideal dan sangat tepat. Tetapi itu menurut teori. Dalam praktiknya  tidaklah semudah itu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Karena semuanya tergantung kondisi dan posisi kita dalam perusahaan .

Kalau kita mau berbicara sejujurnya, dalam kondisi ekonomi morat marit, dapat lowongan pekerjaan saja sudah sangat bersyukur. Sewaktu diinterview walaupun secara prinsip kita punya hak untuk menolak hal hal yang dianggap membebani kita terlalu berat,"in case of emergency" Yakni dalam kondisi ekonomi yang minus,kita tidak mungkin melakukan hal tersebut 

Apalagi melakukan "bargaining" dengan Pihak Perusahaan. Kecuali kita memiliki Skill yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan, maka boleh jadi kita bisa "jual mahal" dan menentukan "Saya maunya begini dan saya tidak setuju begitu"

Tetapi bila diri kita hanyalah pencari kerja  dengan skill standard, maka percayalah begitu kita mencoba melakukan semacam tawaran, maka biasanya Pihak Perusahaan tidak akan mau membuang waktu dan langsung bilang "take it or leave it" Tegasnya. 

Bila dengan mengandalkan ijasah sarjana dan tidak memiliki Special Skill, percayalah kita bukan dalam posisi untuk melakukan "bargainning ". Jadi, kalau kita hanya mengandalkan ijazah semata mata,maka jalan terbaik adalah menerima apa yang sudah menjadi kebijakan perusahaan. Hasrat hati untuk mewujudkan idealisme dalam bekerja,ditunda dulu ,hingga kita memiliki pengalaman kerja yang dapat diandalkan dan menjadi selling point untuk melakukan bargaining terhadap perusahaan.

Kembali ke Judul 

Bagaimana bila kita menekuni bisnis mandiri? Mampukah kita mengatur agar worklife and balance bisa berjalan secara seimbang?  Secara teoritis bisa banget. Dengan asumsi kita yang punya perusahaan, masa iya nggak bisa mengatur waktu? Tapi sesungguhnya tergantung pada bisnis apa yang kita tekuni. Kalau bisnis buka bengkel cuci kendaraan atau buka toko dan lain semacam itu memang memungkinkan. Kita menentukan jam kerja mulai jam berapa dan ditutup jam berapa. Selesai. Tamu yang datang setelah jam kerja tidak dilayani titik.

Tapi tidak semua bisnis mandiri menempatkan Pemiliknya dalam posisi yang menentukan. Salah satu contoh adalah Perusahaan Ekspor. Justru disaat orang lain termasuk karyawan saya sudah bersantai ria dirumah bersama keluarganya, saya justru harus bekerja. Karena sebagai perusahaan Ekspor, saya berurusan dengan pembeli dari luar negeri. Kalau menjual ke Pembeli di Singapore sama sekali tidak ada masalah, karena selisih waktu hanya satu jam. Tapi justru Pembeli kami terbanyak berada di Amerika Serikat dan di Eropa yang jamnya berbeda berberapa jam 

Pada masa itu sarana komunikasi adalah telpon dan telex. Tapi karena jual beli via telpon terlalu riskan, maka cara terbaik pada waktu itu adalah memilih tawar menawar dengan Pembeli via chatting dengan menggunakan Telex. Berdasarkan kesepakatan jual beli via telex, akan disusul dengan saling menanda tangani Sales Contract . Mengingat perbedaan jam antara Indonesia dan Eropa ,serta Amerika Serikat,maka mau tidak mau kita harus menyesuaikan waktu dengan jam kerja mereka.yakni melakukan transaksi jual beli diwaktu malam

Memutuskan Untuk Pensiun

Bagi yang bekerja sebagai PNS sudah ada aturan baku kapan harus pensiun. Dan bagi karyawan swasta, ditentukan oleh Boss Perusahaan. Ada juga yang mengambil "pensiun dini" dengan harapan mendapatkan uang pesangon sehingga dapat dijadikan modal kerja. 

Nah, kalau kita sebagai The Owner atau Pemilik Perusahaan, kapan sebaiknya kita mempensiunkan diri sendiri? Apakah menunggu hingga perusahaan bangkrut? Atau mengalihkan kepada salah seorang anggota keluarga? Tentu hal ini terserah kepada pilihan masing masing

  • Saya memutuskan untuk pensiun berdasarkan beberapa pertimbangan,antara lain:
    ketiga anak kami sudah mandiri, dalam keartian mereka tidak lagi membutuhkan support secara financial dengan kami sebagai orang tua
  • kami tidak mempunyai tanggungan terhadap orang tua,karena orang tua kedua belah pihak sudah alm
  • untuk ukuran hidup sederhana,kami berdua sudah mencapai financial freedom  dan hanya menunggu time freedom

Karena itu setelah mempertimbangkan secara matang, kami memutuskan untuk pensiun total dari seluruh kegiatan dan usaha. Sehingga lengkaplah  sudah kami berada dalam posisi dan kondisi "financial freedom and time freedom"

Ket.tambahan:

Artikel ini ditulis karena saya pernah dalam posisi sebagai buruh di pabrik karet dan pernah sebagai karyawan dibidang Eksport selama dua tahun dan kemudian menjadi Pengusaha Eksportir dengan keuangan pribadi .Tulisan ini hanyalah merupakan cara untuk berbagi pengalaman hidup,yang mungkin ada manfaatnya bagi orang lain,setidaknya sebagai sebuah masukan

Untuk meraih impian hidup , dibutuh  usaha dan kerja keras,serta jatuh bangun selama puluhan tahun ,karena tidak ada jalan toll untuk meraih financial freedom dan time freedom. 

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun