Pagi tadi saya dapat pesan di WAG dari Darwis, salah satu murid saya ditahun 1968 di SD St.Fransisskus RK II di Padang. Intinya: "Kapan kembali ke Indonesia, saya undang bapak dan ibu untuk kita melakukan perjalanan keliling Sumatera Barat. Seluruh teman teman sekelas juga diundang. Khusus umtuk bapak dan ibu, saya sediakan satu kamar di Santika Hotel di Bukittinggi." Dan ditutup dengan kalimat: " Kapan saja bapak dan ibu mau datang, saya siap" Mendapatkan tawaran yang begitu hangat,rasanya sangat terharu. Karena yang mengundang adalah anak didik saya semasa mereka masih di SD, yakni lebih dari 50 tahun lalu.
Dan Un, salah seorang murid yang sekelas dengan Darwis, langsung mengirimkan pesan: " Kalau di Sumatera Barat tanggung jawab Darwis. tapi kalau di Jakarta tanggung jawab saya. "
Walaupun belum ada keputusan mengenai rencana tersebut, tapi karena sebagian yang tinggal di Jakarta dan Surabaya tidak dapat ikut tur keliling Sumatera Barat. tampaknya, acara pertemuan kami akan terbagi dalam 2 kelompok yakni di Jakarta dan di Padang.
Hal ini membuktikan bahwa kalau ingin hubungan guru dan anak anak didik awet sepanjang hayat, maka tidak cukup berdiri didepan kelas sebatas mengajar. Tapi sekaligus menjadi orang tua bagi seluruh anak anak didik kita.
Sewaktu mengajar, sesungguhnya hidup kami dalam kondisi yang morat marit dan gaji saya sebagai guru,pada waktu itu hanyalah Rp.16.000 --(terbilang " Enam belas ribu rupiah) dan tunjangan in natura dalam bentuk beras sebanyak 9 kg (sembilan kilogram)
Praktis gaji plus tunjangan beras hanya cukup untuk kami hidup selama 2 minggu. Bersyukur, isteri saya juga mengajar sehingga penghasilan kami digabung sehingga dapat bertahan hidup. Gaji sebagai guru yang jauh dari memadai,bukanlah alasan untuk melakukan tugas setengah hati.karena saya yang memilih mau menjadi guru pada waktu itu
Anak Anak Didik Bebas Datang Kerumah Kami
Anak anak dididik saya bebas datang ke rumah kami sore hari. Baik untuk belajar maupun untuk bermain main. Bagi saya dan isteri mereka kami perlakukan sebagai anak kami sendiri. Dan ternyata pengalaman mereka semasa masih kecil tertanam dalam hati dan walaupun kini mereka sudah menjadi kakek, tapi hubungan kami tetap awet.
Kalau dulu saya panggil mereka dengan "kalian", kini panggilan saya ganti menjadi "Halo teman teman semuanya" Usia mereka rata rata adalah 65 -66 tahun. .Uniknya,hampir setiap pagi ada ucapan :"Selamat pagi pak " di WAG dari mantan murid murid SD saya . Sebuah sapaan sederhana tapi penuh kehangatan rasa persahatan. Tidak jarang mereka mengirimkan lagu lagu nostaligia khusus untuk saya. Ada rasa haru dalam hati,bahwa hubungan guru dan anak didik,tidak hanya sebatas habis tahun ajaran.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya, bagi yang profesinya sebagai guru bila ingin hubungan relationship dengan anak anak didik tetap awet hingga sama sama menua, maka tidak cukup berdiri di depan kelas hanya sebagai Pengajar, tapi sekaligus menjadi pendidik dan orang tua bagi anak anak didik kita Hingga kini,setiap hari,kami saling sapa lewat WAG antara saya dan mantan murid murid SD
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H