Mengapa Tidak?
Setiap orang berhak menentukan falsafah  yang akan dijadikan pedoman dalam mengarungi samudra kehidupan. Kalau boleh dianalogikan, hidup ini ibarat sebuah perahu yang lagi berlayar, maka membutuhkan Kompas sebagai penunjuk jalan,agar jangan sampai terjebak kearah yang salah. Fungsi filosofi adalah semacam penuntun arah kemana hidup kita ingin ditujukan .Â
Walaupun ajaran agama mengharapkan agar kita mampu mengasihi semua orang sebagaimana kita mengasihi diri sendiri,tapi dalam mengaplikasikannya kita baru sadar.bahwa: "mengucapkan sesuatu yang bersifat luhur,jauh lebih mudah ketimbang mempraktikkannya dalam hidup kita.Â
Kita bisa saja berpura pura seakan akan mampu mengasihi semua orang,tapi kalau kita bertanya kepada hati kita, sungguh tidak mungkin kita dapat mengasihi orang orang yang telah menghianati kita,kendati kita sudah memaafkannya. Ibarat porselein yang terlanjut retak atau pecah,walaupun bisa saja dipertautkan kembali ,tapi betapapun sempurnanya, tidak akan mungkin dapat kembali utuh sebagaimana semula.
Dan kita tentu tidak ingin terjebak ,menjalani hidup dalam kepalsuan atau kepura puraan,karena hanya akan menjadikan kita orang yang munafik. Dan ada semacam parabel.,yang melukiskan tipe orang yang munafik seperti sebuah kuburan. Diluar tampak sangat indah ,tapi isinya akan sangat ber beda dengan apa yang tampak diluar.
- Bila tidak mungkin bagi kita mengasihi semua orang ,minimal yang dapat dilakukan adalah tidak membenci  mereka
- Bila kondisi kita tidak mampu meringankan beban orang ,setidaknya  jangan melukai hatinya dengan menjaga sikap dan tutur kata kita
- Bila tidak mungkin memberi,minimal  yang dapat dilakukan adalah jangan sampai kita mengambil sesuatu yang bukan hak kita
Hanya filosofi yang terkesan kuno,tapi telah kami jadikan pedoman dalam mengarungi samudra kehidupan ini .Dan bersyukur,kami tidak punya satu orang pun musuh dalam hidup ini.,walaupun kami tidak dapat menyayangi semua orang .
Hidup tanpa musuh ,sungguh menghadirkan ketenangan dalam hidup ini. Kami berani mengunjungi daerah daerah terpencil ,diseluruh Nusantara, walaupun banyak orang mengingatkan betapa besar bahayanya.Â
Tapi ternyata,dimana mana kami diterima ,tidak hanya dengan tangan terbuka, tapi juga dengan hati yang terbuka. Kami diterima sebagai bagian dari keluarga mereka. Pertama kali kami mengunjungi Aceh, sungguh sangat banyak yang melarang kami,karena dianggap kami terlalu berani masuk ke :"forbidden city",mengingat  kami berdua dari Etnis Tionghoa dan beragama Katholik.Â
Tetapi ternyata, kami diterima dengan hati terbuka,bahkan diajak makan ke rumah penduduk .Dan kami tanpa ada keraguan sedikitpun memenuhi undangan tersebut .
catatan: ditulis sepenuhnya berdasarkan pengalaman hidup pribadi dan membuktikan,bahwa perbedaan suku,budaya dan agama,sama sekali tidak menjadi halangan  untuk menjalin persahabatan tulus
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H